Kedatuan Banuwa
yang berlokasi di wilayah sekitar Batukliang adalah desa/kedatuan yang berdaulat
dan dihormati. Dalam Babad Lombok, disebutkan bahwa, Batukliang disetarakan
dengan Praya yang mana kedua desa itu pada zaman Anak Agung terakhir diharuskan
membayar pengakuannya terhadap kedaulatan kerajaan Bali Mataram dengan upeti getih (Pertempuran-pen.). Banuwara dari kata “Banuwang
Panagara” yang berarti : Negara Orang Banuwa, adalah teritorial yang terletak
di wilayah juring baret (Lombok bagian
barat-pen). Kedatuan ini didirikan
oleh Dharma yang lebih dikenal sebagai Titik Gembot - Si Nenek ketiga yang
mencabut (telah dijelaskan sebelumnya dalam publikasi yang bertemakan Legenda
Bukit Ngeredeng). Sebelumnya Banuwara merupakan bagian dari kedatuan Banuwa,
tetapi kemudian memisah menjadi kedatuan yang berdiri sendiri pada 1720.
Dalam transkrip
kuno yang disebut Babad Boentji Serawak, yang dibahas ulang oleh Vogelesang
dalam Waktoe
Teloe-verhalen (der Sasaks op Lombok) - Babad Boentji Serawak pada 1923 dideskripsikan bahwa: Sebelum dunia diciptakan, alam
semesta itu dalam keadaan kacau. Yang ada hanya nur (shine, light). Setelah
bumi dan cakrawala mengambil bentuk padat, lahirlah empat nabi (Nama-nama nabi
ini tidak disebutkan). Menyusul kemudian penguasa surga dan neraka dengan nama
Datu Ketip Pandita Mas. "Dia yang tertinggi di surga dan neraka. Anaknya
yang pertama lahir bernama Datu Betara Indra. Di negeri tempat kesendirian dan
kemalasan merajalela, anak keduanya lahir, juga laki-laki, diberi nama Datu
Turgi. Kemudian negara bagian Lombok diciptakan. Putra ketiga Datu Ketip Pandita
Mas bernama Datu Durga Pasti, dia menjadi Raja Selaparang. Menyusul adik
perempuannya bernama Putri Petimah (Fatimah) yang menjadi penguasa Negeri
Sesela". Datu Betara Indra kemudian dikenal sebagai raja Sasak Suwung yang
merupakan salah satu kerajaan pertama di pulau Lombok.
Beberapa desa/kedatuan yang dianggap merupakan kerajaan-kerajaan pertama di pulau Lombok berdasarkan banyak transkrip kuno yang relevan sebagai berikut: Sasak, Kedaro, Laek, Sasak Tela, Pamatan, Sasak Suwung, dan Sasak Lesong.
Mengenai Sasak
Suwung, dari sumber lain dikatakan bahwa: Sebenarnya raja pertama kerajaan
Suwung berdarah lokal atau dari dalam Lombok sendiri. Raja ini dikenal sebagai
Arya Satus. Disebutkan bahwa Arya Satus sebelumnya adalah raja Sasak Tela yang
menguasai pulau Lombok bagian selatan. Raja ini kemudian menyatukan seluruh
Lombok dan berganti nama menjadi kerajaan Sasak Suwung. Tetapi kemudian, datang
penguasa dari pulau Jawa yang mengalahkan raja ini dan menguasai Suwung. Raja penakluk
tersebut bernama Betara Indra.
Babad Suwung, menyebutkan bahwa: Datu Betara Indera menikah dengan Dewi Sita (Shinta), memperanakkan dua belas orang putera yang kelak setelah meletusnya gunung Samalas (Rinjani) mendirikan desa-desa yang menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan di Lombok. Salah seorang anaknya, yaitu puteranya yang kesebelas bernama Ki Nyaka Koarlalang mendirikan kerajaan/kedatuan Banuwa (Wilayah sekitar kecamatan Batukliang, Lombok Tengah sekarang) pada 1257. Beliau kemudian dikenal sebagai Ama’ Kurlanglang, Tumenggung Batukliang I. Kurlanglang juga menuliskan manuskrip yang mendukung Babad Suwung dan Piagam Banuwa.
Ama Rara/Betara Lombok, Raja Suwung II;
Ama Nyaka, Pendiri Brangbantun;
Ama Langkokun/Rangga Baindesa, Raja di Langko;
Ama Salut, Raja di Salut;
Ama Balun, Raja di Sembalun;
Ama Bayan, Raja di Bayan;
Ama Brang Tapen/Rangga Pejanggik, Raja Pejanggik;
Ama Talkoang/Tumenggung Taloang, Raja Bakong (Taliwang);
Ki Nyaka Lombok, Raja Lombok kemudian beralih ke Brenga;
Ki Nyaka Koarlalang, Tumenggung/Raja Banuwa 1257-
Trah
Banuwa bermula dari Ki Nyaka
Koarlalang (Ama’ Kurlanglang) yang memperanakkan dua orang putera.
Salah satunya bergelar Sungsunan
Banuwang
II yang kelak menggantikan beliau sebagai raja Banuwa
berikutnya. Puteranya yang lain bernama Nek Panji Doyan Nada (Doyan Medaran)
yang menikahi puteri Langko - salah seorang sepupunya. Doyan
Nada memperanakkan Ki Sahiki, Ki
Sukurti dan Ki Arungan. Ketiga putera Doyan Nada ini dimakamkan
di Serumbung. Trah Banuwa dan pedaleman Batukliang berlanjut dari Sungsunan
Banuwang II.
Sungsunan Banuwang II menurunkan raja-raja Banuwa
berikutnya kurang lebih sebanyak delapan generasi yang dimulai dari akhir abad
XIII sampai era Benuha - Datu Banuwa yang memerintah pada paruh kedua abad XVII.
Datu Banuwa (Benuha) memperanakkan Batuwa dan Dharma, serta menurunkan pedaleman Mantang. Batuwa, menjadi datu Banuwa
yang terakhir,
memperanakkan dua orang puteri yaitu Kendran dan Bunian. Kendran kemudian
menikah dengan Meraja Kusuma raja Pejanggik pada 1699. Bunian yang juga
dipanggil Bune mengasingkan diri ke sebuah bukit di wilayah Banuwara, dan
kemudian mendirikan sumur yang airnya tidak pernah mengering hingga saat ini. Dharma
mendirikan dan memerintah Banuwara di juring baret pada 1720. Dharma sebelumnya adalah mahapatih dan
panglima tinggi Banuwa. Kemudian meminta wilayah barat ini menjadi miliknya dan
tidak mau membayar upeti kepada saudaranya - Datu Batuwa. Pedaleman Mantang menurunkan para pemimpin
desa Mantang salah satunya
Mamik Tadi Lalu Dikawat atau lebih dikenal sebagai Mamik Dikawat, yang pada era
Anak Agung Mataram berkuasa menitipkan rakyatnya ke Banuwara yang dipimpin oleh
Dharma. Satu dekade setelah pemerintahannya, Dharma terlibat konflik dengan
penguasa tetangganya di sebelah utara yaitu demung daerah Menggala yang menganeksasi
daerah Pusuk dan Semaya. Akhir penyelesaiannya adalah pertempuran
simbolik antar keduanya dengan masing-masing menelan tujuh keris musuhnya.
Demung Menggala dapat dikalahkan oleh Dharma. Datu Banuwara mencabut ketujuh
tonjolan keris yang sebelumnya ditelan sang demung, tetapi kemudian menembus
perut penguasa Menggala tersebut dengan rasa sakit yang tiada terperi. Sejak
itulah Dharma dikenal sebagai Titik Gembot yang berarti: Nenek ketiga yang
mencabut. Kemudian Pusuk dan Semaya dikembalikan kepada Banuwara.
Dharma atau Titik Gembot memperanakkan Titik Gembot II,
dan sepasang anak kembar yang dikenal sebagai Titik Ngringik dan Titik
Ngrangak. Titik Gembot II menjadi raja Banuwara II, memperanakkan Titik Gembot
III yang kemudian menjadi raja Banuwara III. Titik Gembot III memperanakkan Titik
Jagad dan Titik Serani. Titik Jagad yang kemudian
menjadi raja Banuwara IV atau terakhir yang memerintah sampai 1888.
Catatan
dari tahun 1888 saat berakhirnya era Banuwara tidak begitu jelas. Hanya
disebutkan dari sumber verbal yang lahir tahun 1890-an yang sempat hidup sampai
dekade akhir abad XX, dan menerima berita dari orang tua dan kerabatnya yang
menjadi pelaku sejarah, bahwa setelah pertempuran yang berhasil mengalahkan agresor
Bali Mataram yang menyerbu Banuwara justru ekonomi kedatuan menjadi terpuruk
akibat perang dan tidak adanya suksesor menggantikan pengeraksa terakhir. Saat
ini Banuwara dalam status quo dengan bayang-bayang pengaruh yang saling tarik
ulur antara penguasa Anak Agung dan administrator Hindia Belanda. Namun ini
berlangsung tidak terlalu lama, karena kurang dari satu dekade kemudian, atau
tepatnya tahun 1894 terjadi perang Lombok yang mengakhiri kekuasaan raja-raja
Bali yang telah menguasai Lombok selama satu setengah abad.
Titik Jagad - raja dan pengeraksa Banuwara terakhir, memperanakkan empat orang putera dan tiga orang puteri. Anak-anaknya inilah yang menurunkan trah Banuwara abad XIX dan XX. Empat orang putera Jagad tersebut bernama Miraja (Papuk Eja), Peleloh (Papuk Elo atau Amak Rumaji), Pengal (Papuk Pengal), dan Suraja (Amak Nurinah) yang kemudian lebih dikenal sebagai Papuk Owok, penghulu Islam waktu lima pertama di wilayah Banuwara yang kini bernama Bengkaung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar