Minggu, 05 Juni 2022

CIKAL BAKAL TRAH BANUWARA

Kedatuan Banuwa yang berlokasi di wilayah sekitar Batukliang adalah desa/kedatuan yang berdaulat dan dihormati. Dalam Babad Lombok, disebutkan bahwa, Batukliang disetarakan dengan Praya yang mana kedua desa itu pada zaman Anak Agung terakhir diharuskan membayar pengakuannya terhadap kedaulatan kerajaan Bali Mataram dengan upeti getih (Pertempuran-pen.). Banuwara dari kata “Banuwang Panagara” yang berarti : Negara Orang Banuwa, adalah teritorial yang terletak di wilayah juring baret (Lombok bagian barat-pen). Kedatuan ini didirikan oleh Dharma yang lebih dikenal sebagai Titik Gembot - Si Nenek ketiga yang mencabut (telah dijelaskan sebelumnya dalam publikasi yang bertemakan Legenda Bukit Ngeredeng). Sebelumnya Banuwara merupakan bagian dari kedatuan Banuwa, tetapi kemudian memisah menjadi kedatuan yang berdiri sendiri pada 1720.

Dalam transkrip kuno yang disebut Babad Boentji Serawak, yang dibahas ulang oleh Vogelesang dalam Waktoe Teloe-verhalen (der Sasaks op Lombok) - Babad Boentji Serawak  pada 1923 dideskripsikan bahwa: Sebelum dunia diciptakan, alam semesta itu dalam keadaan kacau. Yang ada hanya nur (shine, light). Setelah bumi dan cakrawala mengambil bentuk padat, lahirlah empat nabi (Nama-nama nabi ini tidak disebutkan). Menyusul kemudian penguasa surga dan neraka dengan nama Datu Ketip Pandita Mas. "Dia yang tertinggi di surga dan neraka. Anaknya yang pertama lahir bernama Datu Betara Indra. Di negeri tempat kesendirian dan kemalasan merajalela, anak keduanya lahir, juga laki-laki, diberi nama Datu Turgi. Kemudian negara bagian Lombok diciptakan. Putra ketiga Datu Ketip Pandita Mas bernama Datu Durga Pasti, dia menjadi Raja Selaparang. Menyusul adik perempuannya bernama Putri Petimah (Fatimah) yang menjadi penguasa Negeri Sesela". Datu Betara Indra kemudian dikenal sebagai raja Sasak Suwung yang merupakan salah satu kerajaan pertama di pulau Lombok.

Beberapa desa/kedatuan yang dianggap merupakan kerajaan-kerajaan pertama di pulau Lombok berdasarkan banyak transkrip kuno yang relevan sebagai berikut: Sasak, Kedaro, Laek, Sasak Tela, Pamatan, Sasak Suwung, dan Sasak Lesong. 

Mengenai Sasak Suwung, dari sumber lain dikatakan bahwa: Sebenarnya raja pertama kerajaan Suwung berdarah lokal atau dari dalam Lombok sendiri. Raja ini dikenal sebagai Arya Satus. Disebutkan bahwa Arya Satus sebelumnya adalah raja Sasak Tela yang menguasai pulau Lombok bagian selatan. Raja ini kemudian menyatukan seluruh Lombok dan berganti nama menjadi kerajaan Sasak Suwung. Tetapi kemudian, datang penguasa dari pulau Jawa yang mengalahkan raja ini dan menguasai Suwung. Raja penakluk tersebut bernama Betara Indra.

Babad Suwung, menyebutkan bahwa: Datu Betara Indera menikah dengan Dewi Sita (Shinta), memperanakkan dua belas orang putera yang kelak setelah meletusnya gunung Samalas (Rinjani) mendirikan desa-desa yang menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan di Lombok. Salah seorang anaknya, yaitu puteranya yang kesebelas bernama Ki Nyaka Koarlalang mendirikan kerajaan/kedatuan Banuwa (Wilayah sekitar kecamatan Batukliang, Lombok Tengah sekarang) pada 1257. Beliau kemudian dikenal sebagai Ama’ Kurlanglang, Tumenggung Batukliang I. Kurlanglang juga menuliskan manuskrip yang mendukung Babad Suwung dan Piagam Banuwa.


Dalam manuskrip tersebut dikatakan bahwa kedua belas putera Betara Indera yang dimaksud adalah:
Ama Rara/Betara Lombok, Raja Suwung II;
Ama Nyaka, Pendiri Brangbantun;
Ama Langkokun/Rangga Baindesa, Raja di Langko;
Ama Salut, Raja di Salut;
Ama Balun, Raja di Sembalun;
Ama Bayan, Raja di Bayan;
Ama Brang Tapen/Rangga Pejanggik, Raja Pejanggik;
Ama Talkoang/Tumenggung Taloang, Raja Bakong (Taliwang);
Ki Nyaka Seet, Raja Aik Mual;
Ki Nyaka Lombok, Raja Lombok kemudian beralih ke Brenga;
Ki Nyaka Koarlalang, Tumenggung/Raja Banuwa 1257-
Ama Pebangeran/Tumenggung Pebangeran, Raja Sokong.

 

Trah Banuwa bermula dari Ki Nyaka Koarlalang (Ama’ Kurlanglang) yang memperanakkan dua orang putera. Salah satunya bergelar Sungsunan Banuwang II yang kelak menggantikan beliau sebagai raja Banuwa berikutnya. Puteranya yang lain bernama Nek Panji Doyan Nada (Doyan Medaran) yang menikahi puteri Langko - salah seorang sepupunya. Doyan Nada memperanakkan Ki Sahiki, Ki Sukurti dan Ki Arungan. Ketiga putera Doyan Nada ini dimakamkan di Serumbung. Trah Banuwa dan pedaleman Batukliang berlanjut dari Sungsunan Banuwang II.

 

Sungsunan Banuwang II menurunkan raja-raja Banuwa berikutnya kurang lebih sebanyak delapan generasi yang dimulai dari akhir abad XIII sampai era Benuha - Datu Banuwa yang memerintah pada paruh kedua abad XVII. Datu Banuwa (Benuha) memperanakkan Batuwa dan Dharma, serta menurunkan pedaleman Mantang. Batuwa, menjadi datu Banuwa yang terakhir, memperanakkan dua orang puteri yaitu Kendran dan Bunian. Kendran kemudian menikah dengan Meraja Kusuma raja Pejanggik pada 1699. Bunian yang juga dipanggil Bune mengasingkan diri ke sebuah bukit di wilayah Banuwara, dan kemudian mendirikan sumur yang airnya tidak pernah mengering hingga saat ini. Dharma mendirikan dan memerintah Banuwara di juring baret pada 1720. Dharma sebelumnya adalah mahapatih dan panglima tinggi Banuwa. Kemudian meminta wilayah barat ini menjadi miliknya dan tidak mau membayar upeti kepada saudaranya - Datu Batuwa. Pedaleman Mantang menurunkan para pemimpin desa Mantang salah satunya Mamik Tadi Lalu Dikawat atau lebih dikenal sebagai Mamik Dikawat, yang pada era Anak Agung Mataram berkuasa menitipkan rakyatnya ke Banuwara yang dipimpin oleh Dharma. Satu dekade setelah pemerintahannya, Dharma terlibat konflik dengan penguasa tetangganya di sebelah utara yaitu demung daerah Menggala yang menganeksasi daerah Pusuk dan Semaya. Akhir penyelesaiannya adalah pertempuran simbolik antar keduanya dengan masing-masing menelan tujuh keris musuhnya. Demung Menggala dapat dikalahkan oleh Dharma. Datu Banuwara mencabut ketujuh tonjolan keris yang sebelumnya ditelan sang demung, tetapi kemudian menembus perut penguasa Menggala tersebut dengan rasa sakit yang tiada terperi. Sejak itulah Dharma dikenal sebagai Titik Gembot yang berarti: Nenek ketiga yang mencabut. Kemudian Pusuk dan Semaya dikembalikan kepada Banuwara.

 

Dharma atau Titik Gembot memperanakkan Titik Gembot II, dan sepasang anak kembar yang dikenal sebagai Titik Ngringik dan Titik Ngrangak. Titik Gembot II menjadi raja Banuwara II, memperanakkan Titik Gembot III yang kemudian menjadi raja Banuwara III. Titik Gembot III memperanakkan Titik Jagad dan Titik Serani. Titik Jagad yang kemudian menjadi raja Banuwara IV atau terakhir yang memerintah sampai 1888.

 

Catatan dari tahun 1888 saat berakhirnya era Banuwara tidak begitu jelas. Hanya disebutkan dari sumber verbal yang lahir tahun 1890-an yang sempat hidup sampai dekade akhir abad XX, dan menerima berita dari orang tua dan kerabatnya yang menjadi pelaku sejarah, bahwa setelah pertempuran yang berhasil mengalahkan agresor Bali Mataram yang menyerbu Banuwara justru ekonomi kedatuan menjadi terpuruk akibat perang dan tidak adanya suksesor menggantikan pengeraksa terakhir. Saat ini Banuwara dalam status quo dengan bayang-bayang pengaruh yang saling tarik ulur antara penguasa Anak Agung dan administrator Hindia Belanda. Namun ini berlangsung tidak terlalu lama, karena kurang dari satu dekade kemudian, atau tepatnya tahun 1894 terjadi perang Lombok yang mengakhiri kekuasaan raja-raja Bali yang telah menguasai Lombok selama satu setengah abad.


Titik Jagad - raja dan pengeraksa Banuwara terakhir, memperanakkan empat orang putera dan tiga orang puteri. Anak-anaknya inilah yang menurunkan trah Banuwara abad XIX dan XX. Empat orang putera Jagad tersebut bernama Miraja (Papuk Eja), Peleloh (Papuk Elo atau Amak Rumaji), Pengal (Papuk Pengal), dan Suraja (Amak Nurinah) yang kemudian lebih dikenal sebagai Papuk Owok, penghulu Islam waktu lima pertama di wilayah Banuwara yang kini bernama Bengkaung.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar