Minggu, 24 November 2024

SISTEM PENGUCAPAN DAN SEBUTAN KEKERABATAN MASYARAKAT BENGKAUNG

Dalam masyarakat Bengkaung yang dipengaruhi akar kebudayaan suku Sasak Banuwa dan Selaparang menggunakan sandangan lok dan le untuk pribadi perorangan yang sejajar atau yang lebih muda, memiliki sistem pengucapan dan sebutan kekerabatan yang digunakan sehari-hari secara konsisten. Kearifan ini secara turun-temurun menandai hidup dan berkembangnya budaya masyarakat suku Sasak Bengkaung dari waktu ke waktu.
 
 
Dialek dan Sistem Pengucapan
 
Bahasa Sasak Lombok terbagi dalam tiga sistem dialek, yaitu: ngeno-ngene, meno-mene, merikak-merikuk. Masyarakat Sasak Bengkaung menggunakan dialek ngeno-ngene dan sebagian kecil memakai meno-mene. Dengan tiga macam dialek pengucapan di Bengkaung dapat dirinci dari daerah pengunungan di utara seperti wilayah PBB (Pelolat - Bunut Boyot) dan Buser (Bunian - Seraya) dengan dialek pengucapan ngeno-ngene yang paling lekat. Sementara wilayah Beda (Bengkaung Desa atau Bengkaung Dataran) yaitu Bengkaung Daye, Bengkaung Tengak, dan Bengkaung Lauk menggunakan sistem pengucapan dengan lekatan sedang. Bengkaung Daye dan Bengkaung Tengak yang menggunakan dialek ngeno-ngene, sementara wilayah paling selatan Bengkaung yaitu di Bengkaung Lauk menggunakan dialek meno-mene seperti halnya beberapa desa di sekitarnya.
 
Di Bengkaung, penutur bahasa Sasak dengan dialek ngeno-ngene selalu menggunakan kata sandang lok untuk laki-laki dan  le untuk perempuan. Sementara penutur dengan dialek meno-mene tidak selalu atau malah mengabaikan penggunaan kata sandang lok dan le.
 
Fathurrahman Zakaria dalam bukunya Mozaik Budaya Orang Mataram (1998) mendefinisikan bahwa sistem penyebutan sandangan lok dan le dalam bahasa Sasak mengidentifikasikan penggunanya sebagai masyarakat Sasak Lombok dari trah Selaparang. Sebaliknya penutur yang tidak menggunakan kedua sandangan tersebut teridentifikasi sebagai masyarakat Sasak Lombok dari trah Pejanggik.
 
Kedua sistem pengucapan dialek Sasak di Bengkaung yaitu ngeno-ngene dan meno-mene atau penggunaan sistem sandangan lok dan le tidak mutlak terlokalisir atau berpusar pada wilayah teritorial tertentu saja. Uraian singkat di atas hanya bersifat “umumnya”. Dalam perkembangan terakhir kedua sistem pengucapan tersebut dipraktekkan secara diaspora dan menjadi heterogen di seluruh Bengkaung. Hal tersebut dipengaruhi oleh perkembangan dan persebaran penduduk, pendidikan, pergaulan, lingkungan sosial, pola pikir, adaptasi dengan warga pendatang dan sebagainya, sehingga tampak dari luar bahwa orang Sasak Bengkaung menggunakan bahasa Sasak dialek Bengkaung tanpa memperhatikan varian lekatan.
 
 
Sebutan Kekerabatan
 
Sistem dan sebutan kekerabatan dalam masyarakat suku Sasak di Bengkaung terbagi menjadi sistem penyebutan vertikal dan sistem penyebutan horisontal. Sistem penyebutan vertikal adalah sebutan seseorang terhadap keluarga lainnya ke atas atau ke bawah. Sistem penyebutan horisontal adalah sebutan seseorang untuk anggota keluarga yang sejajar dalam kekerabatan, juga untuk sebutan dalam garis diagonal yaitu ke atas atau ke bawah secara menyamping.
 
 
Sistem penyebutan vertikal
 
Untuk panggilan kekerabatan ke atas dari si Fulan kepada bapak dan ibunya akan memanggil amak dan inak. Kalau si Fulan seorang bangsawan atau orang tuanya sudah berhaji ia akan memanggil mamik dan inak tuan. Untuk bapak dan ibu dari orang tuanya si Fulan, maka Fulan akan memanggilnya papuk dan kalau bangsawan atau sudah berhaji akan dipanggil ninik. Untuk membedakan laki dan perempuannya papuk mame atau ninik laki untuk pria, sementara papuk nine atau ninik bini untuk wanita. Kepada orang tua dari papuk atau ninik, si Fulan akan memanggil balok dan kalau bangsawan dipanggil tata. Untuk orang tua dari balok atau tata, Fulan akan memanggilnya embik dan kalau seorang bangsawan akan dipanggil titik. Untuk panggilan Fulan berikut ke atasnya secara berurut, bapaknya embik atau titik dipanggil pata, bapaknya pata dipanggil keletok, bapaknya keletok dipanggil kelatek, bapaknya kelatek dipanggil toker, dan bapaknya toker dipanggil goneng, atau kadang disebut gonder. Sebutan di atas goneng disebut secara malas sebagai simbur boyot, bawak taker, bawak dam, dan bawak daka.
 
Penyebutan ke bawah dari si Fulan kepada anaknya akan memanggil anak, dan kepada anak dari anaknya ia akan memanggilnya wai atau bai. Kepada anak wai atau bainya si Fulan akan memanggilnya walok atau balok. Dan panggilan berikutnya ke bawah akan sama dengan sebutan dari balok ke atasnya dalam sebutan kekerabatan masyarakat Sasak di Bengkaung.
 
 
Sistem penyebutan horisontal
 
Untuk panggilan kekerabatan secara horisontal bagi si Fulan kepada saudaranya akan memanggil semeton, yang lebih tua dipanggil kakak yang lebih muda dipanggil adik. Sebutan untuk saudara dari orang tuanya si Fulan, untuk laki-laki disebut tuaq atau amak saik. Untuk paman yang lebih tua disebut amak kake, yang lebih muda disebut inak kake. Untuk bibik dipanggil inak saik, yang lebih tua disebut inak kake, yang lebih muda disebut inak rari. Kepada anak dari saudara orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya pisak, dan kepada anak dari pisak orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya sempu. Untuk anak dari sempu orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya sempu dua. Selanjutnya secara horisontal akan berlanjut dengan sebutan sempu tiga, sempu empat, sempu lima, dan seterusnya. Kepada keponakannya atau anak saudaranya, si Fulan akan memamnggilnya naken atau anak semeton.
 
Panggilan untuk isteri atau suami saudara, si Fulan akan memanggilnya ipar, yang lebih tua disebut kakak ipar, yang lebih muda disebut adik ipar. Kepada saudara tirinya, si Fulan akan memanggil kakak terek untuk yang lebih tua, dan adik terek untuk yang lebih muda. Kepada orang tua tirinya, si Fulan akan menyebutnya amak terek untuk laki, dan inak terek untuk yang perempuan. Dan khusus untuk anak dari ayah tiri atau ibu tiri dari Fulan, tanpa hubungan nasab dari kedua orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya semeton pendait. Dan kepada semeton pendait si Fulan halal menikahinya.
 
Halnya semeton pendait, kondisinya akan terjadi bilamana misalnya: Bapaknya si Fulan menikah lagi dengan perempuan bernama si Ego yang sudah bercerai dari suaminya. Sebelum bercerai dari suami lamanya si Ego miliki anak perempuan bernama si Ebon. Karena si Fulan dan si Ebon kedua orang tua masing-masing berbeda maka mereka bisa dinikahkan. Sama halnya dengan saudara angkat yang berbeda kedua orang tuanya.
 
Untuk sebutan kekerabatan yang tidak disebutkan dalam  tulisan ini disebutkan secara umum sama dengan yang lainnya. Misalnya sebutan cucu saudara, cucu misan, cucu sepupu disebut juga bai atau wai, cicit saudara, cicit misan, cicit sepupu disebut juga walok atau balok. Saudara, misan, sepupu dari kakek atau nenek juga disebutkan sebagai papuk atau balok saja, dan seterusnya.
 
Umumnya sebutan kekerabatan dalam masyarakat Bengkaung mirip atau sama dengan masyarakat suku Sasak di tempat lainnya di pulau Lombok. Kalau terjadi perbedaan tidaklah terlalu jauh dan gampang disesuaikan. Misalnya sebutan untuk besan, yaitu warang sama dengan sumbah. Sebutan untuk keponakan, yaitu naken sama dengan duan. Beberapa sebutan yang berbeda lainnya sampai saat penulisan publikasi ini masih berusaha diidentifikasi untuk melengkapi pengetahuan tentang sebutan dan sistem kekerabatan dalam masyarakat suku Sasak di Bengkaung.

Kamis, 31 Oktober 2024

SISTEM PENAMAAN DALAM MASYARAKAT SUKU SASAK BENGKAUNG

Kearifan yang senantiasa hidup dan mengalir dalam masyarakat pada suatu teritorial tertentu akan mempengaruhi perkembangan masyarakat tersebut. Masyarakat yang berbudaya akan senantiasa memelihara kearifan lokal sebagai upaya menerapkan dan sekaligus menghormati legasi dari leluhur mereka di masa lampau. Terkadang pesan dan ajaran kebijakan dari nenek moyang berbenturan dengan budaya moderen yang lebih praktis, sehingga mengakibatkan beberapa sistem sosial dalam kebudayaan itu terkikis sedikit demi sedikit untuk kemudian secara bertahap hilang dengan sendirinya dan tidak dikenal generasi berikutnya.

Seiring dengan berkembangnya ajaran Islam yang dibawakan oleh para da’i dan tuan guru di Lombok, maka ritus yang berbau pagan sedikit demi sedikit tergantikan. Meskipun masih ada sebagian masyarakat yang secara diam-diam mempraktikkan kearifan tersebut, lama kelamaan akan ditemukan bahwa beberapa kearifan lokal hanya akan menjadi kenangan.

Beberapa di antara praktik ritual dalam kearifan lokal yang menjadi peninggalan leluhur adalah sistem penamaan bayi dan penyebutan bagi seseorang. Dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung setidaknya terbagi dalam tiga tahapan, yang tidak mesti harus lengkap dalam  pemenuhannya, yaitu:

1.  Sistem penamaan bayi;
2.  Sistem penamaan sesudah remaja dan dewasa;
3.  Sistem penamaan seteleh menunaikan ibadah haji.

Berikut penulis akan membahas satu persatu sistem penamaan ini untuk memberi penjelasan yang lengkap dan menyeluruh sehingga mudah mehamami makna di balik kearifan lokal yang hampir punah ini.


Sistem Penamaan Bayi

Salah satu dari sistem kebudayaan yang hampir punah adalah “pedak api” yang merupakan ritus penamaan bayi dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung. Pedak api dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung berarti memadamkan api, yaitu suatu ritus penamaan bayi yang dilakukan pada tujuh hari setelah kelahirannya. Bayi yang baru lahir disebut “bebeyak” yang berarti: “yang merah” karena warna kulit bayi yang baru lahir cerah kemerah-merahan, atau juga karena saat lahir dan/atau beberapa minggu berikutnya, bayi menangis dengan mengeluarkan suara “eyaak..! eyaak..!” Kadang disebut “lok odek” yang berarti: “si kecil.”

Pada tujuh hari setelah kelahirannya bayi akan dicukur dan diberi nama. Khususnya untuk cukuran, dalam prakteknya tidak mesti pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Pemberian nama bayi untuk pertama kalinya yang kemudian akan disebut nama sembek dilakukan dalam upacara pedak api. Prakteknya dilakukan dengan mengundang “belian” atau dukun yang membantu kelahiran sang bayi, yang kemudian mempersiapkan sejenis wadah dari tanah yang disebut “tepak”. Tepak tersebut diisikan sabut dan kulit kelapa kering dan ditambahkan sedikit arang tempurung. Kemudian sabut dan tempurung dalam wadah tepak itu dibakar. Walaupun belum begitu terbakar asal sudah mengeluarkan asap ritus penamaan bayi bisa dimulai. Orok bayi diangkat oleh sang dukun, kemudian di atas perapian dikenai sedikit asap, sang bayi diangkat dengan kedua tangan seperti menengadahkannya kemudian diputar-putarkan searah jarum jam sebanyak tujuh kali. Sesudah itu bayi diturunkan dan oleh sang dukun diberi sembek - kunyahan dari daun sirih, kapur sirih, isi pinang, dan gambir yang kemudian oleh telunjuk sang dukun diusapkan di kening, dada, dan leher sang bayi, sembari mengucapkan: “Dengan ini bayi ini diberi nama ….. (misalnya) Saleh.” Nama yang diberikan saat ini disebut “aran sembek”. Aran Sembek adalah nama asli yang diberikan pada tujuh hari setelah kelahiran seseorang. Sembek dioleskan juga pada kening, dada, leher, dan tengkuk ibu yang melahirkan. Dengan ritus ini dimulailah siklus pertama dalam perjalanan hidup seorang anak manusia.

Adapun dalam hal praktik ritual pedak api dengan menggunakan arang dan sabut kelapa tidak dianjurkan oleh para kiyai dan tuan guru karena dianggap menentang syari’ah dan meniru-niru praktek pagan, dan secara medis dapat mengganggu kesehatan sang bayi yang diinisiasi. Sebagai gantinya, arang tempurung dan sabut kelapa diganti dengan daun jarak, tetapi tetap melibatkan api dengan sedikit asap. Dari tahun ke tahun praktik ritual ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.


Sistem Penamaan Sesudah Remaja dan Dewasa

Ketika seseorang menginjak usia remaja, kemudian dewasa dan menikah, maka orang tersebut masih memakai nama yang diberikan sejak lahir. Misalnya, Saleh masih dipanggil Saleh, atau Aleh, atau mungkin Leh saja. Ada kata sandang lok untuk yang laki, dan le untuk perempuan. Hanya saja sebutan lok atau le di depan nama panggilan hanya boleh disebutkan oleh orang yang lebih tua atau setidaknya seusia. Yang muda akan menyebut dengan tambahan nama sesuai kedudukannya terhadap orang tersebut. Dengan demikian kata Lok Saleh hanya disebutkan oleh kakaknya, bapak ibunya, kakek neneknya atau semua orang yang lebih tua atau seusia dengan Saleh. Sebaliknya bagi adiknya, anaknya, keponakannya, cucunya, atau orang yang lebih muda dari Saleh akan menyebut kata sandang sesuai posisinya terhadap Saleh, seperti misalnya: Amak Saleh (oleh anaknya atau orang yang lebih muda atau seusia dalam kisaran kurang lebih - anjar-anjarang), Kakak Saleh (oleh adiknya atau orang yang lebih muda), Tuak Saleh (oleh keponakannya), Papuk Saleh (oleh cucunya), dan seterusnya. Demikian pula sandangan le bagi yang perempuan. Orang-orang yang lebih tua atau seusia akan menambahkan sandangan itu baginya, sementara yang lebih muda akan memanggil sesuai posisinya terhadap si perempuan, misalnya inak, saik, papuk dan seterusnya. Tapi di banyak tempat di daerah Lombok kata sandang lok atau le tidak dipakai.

Aran Pengamak/Penginak adalah nama-nama sebutan yang ditambahkan setelah seseorang mempunyai anak keturunan. Nama aslinya akan berganti setelah kelahiran anak pertama baik laki atau perempuan. Misalkan, Saleh menikah dengan Jahrah kemudian melahirkan anak pertamanya yang bernama Hayati, maka Saleh akan menjadi Amak Hayati, dan Jahrah menjadi Inak Hayati. Dalam bahasa Sasak, amak berarti “ayah”, inak berarti “ibu”. Nama-nama anak berikutnya dari Saleh dan Jahrah yang lahir sesudah anak pertama (sesudah Hayati), tidak akan mempengaruhi atau tidak mengubah nama Saleh sebagai Amak Hayati, atau Jahrah sebagai Inak Hayati. Untuk beberapa kasus yang dipraktekkan dalam budaya masyarakat Sasak Bengkaung, terkadang seorang bapak atau ibu menggunakan nama anaknya yang kedua, ketiga atau yang sudah lebih dikenal atau dipopulerkan masyarakat. Boleh jadi hal tersebut karena anaknya yang pertama meninggal waktu muda atau menghilang tak tentu rimbanya, atau karena orang tua tersebut malu atau kurang berkenan menggunakan nama anaknya yang pertama sebagai nama pengamak/penginak-nya, namun praktek tersebut dalam jumlah yang sangat kecil dan jarang terjadi, karena sistem ini dilegalkan oleh masyarakat sebagai kearifan lokal untuk menghargai anak pertama yang kelak diharapkan dapat menjadi pengganti orang tua mereka kalau sudah tiada.

Sebelum atau sesudah menikah diberikan tambahan nama atau sebutan kepada sesorang untuk mempermudah panggilan, dan untuk menginisiasi dirinya serta untuk lebih mudah dikenal atau dibedakan dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan sistem penambahan nama yang disebut jejalek dan jejuluk.

Jejalek atau nama tambahan lain yang muncul kemudian ini diberikan dengan melihat apa yang pernah terjadi pada person tersebut, apa yang dilakukannya, apa yang dialaminya, apa kebiasaanya, apa kesukaan dan hobinya, dan lain-lain. Terkadang nama jejalek menyertai nama aslinya, kadang hanya nama jejalek-nya yang dikenal. Nama asli hanya disebutkan bila menyangkut hal-hal yang formal, acara-acara resmi, atau untuk administrasi dan identitas formal. Nama jejalek selalu dan selamanya menggunakan bahasa lokal. Misalnya, seseorang remaja atau dewasa yang bernama Saleh tadi diketahui suka memakan tempe, atau mungkin fisiknya pipih seperti tempe, maka ia akan dipanggil Saleh-tempe atau Tempe saja. Orang akan mengatakan demikian dan menyebutnya sekali dalam satu tarikan nafas dan langsung dikenal. Ada kemungkinan puluhan nama Saleh dalam desa/dusun tersebut tetapi hanya satu yang bernama Saleh-tempe.

Jejuluk adalah nama pengganti atau sebutan bagi seseorang karena keistimewaannya, kelebihannya, kesaktiannya, atau kekuasaanya, ataupun juga karena kepahlawanan dan ketokohannya. Namun itu terjadi pada masa yang telah lampau atau jaman feodal. Pada saat sekarang ini jejuluk sudah jarang sekali didengar atau diberikan. Dalam budaya masyarakat suku Sasak Bengkaung, baik jejalek ataupun jejuluk diberikan dan disepakati oleh masyarakat secara spontan. Nama jejuluk untuk seseorang adalah sebutan untuk menghargai orang yang bersangkutan. Misalnya untuk petarung yang tangguh dan kebal, umumnya nama diawali dengan sebutan warna, mungkin kecenderungan warna tubuhnya seperti hijau, hitam, merah, dan lain-lain, kemudian diikuti oleh nama desa asalnya. Sehingga kita bisa mendengar orang berjejuluk Ijo Ireng, Klau Wadon, Burik Pakel dan lain-lain. Untuk menunjukkan kekuatan seseorang juga menggunakan nama-nama hewan yang kuat seperti Banteng Bentek, atau mungkin karena jabatannya seperti Demong Menggala, dan seterusnya.

Beda halnya dengan jejalek yang menjadi tambahan nama, atau pengganti untuk inisiasi seseorang, jejuluk lebih cenderung menghapus atau menghilangkan nama asli seseorang.

  

Sistem Penamaan Setelah Menunaikan Ibadah Haji

Setelah sesorang bernasib melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, penamaannya sepenuhnya menggunakan nama yang diberikan atau disepakati bersama syeikh-nya di Makkah. Dengan demikian, nama-nama sembek, nama pengamak/penginak, jejalek dan jejuluk sepenuhnya tidak dipakai lagi. Karena dalam budaya masyarakat Sasak yang mayoritas beragama Islam, haji adalah gelar tertinggi yang disepakati bersama. Sesorang yang sudah berhaji selain diberikan gelar haji bagi yang laki, dan hajah untuk perempuan, mereka juga akan dipanggil mamiq sebagai pengganti amak. Kakek dan nenek diganti ninik. Sebutan-sebutan tersebut umumnya dipakai untuk panggilan bagi bangsawan Sasak.

Untuk review siklus penamaan dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung dapat digambarkan sebagai berikut, misalkan: Seorang bayi laki yang baru lahir diberi nama Saleh, karena suka memakan tempe atau fisiknya pipih seperti tempe maka dia diberi jejalek Tempe. Sejatinya ia akan dipanggil Saleh-tempe. Kemudian setelah menikah dan memiliki anak pertamanya, ia akan menjadi seorang ayah atau amak, maka semisal anak pertamanya bernama Hayati, maka ia akan mendapat nama pengamak menjadi Amak Hayati, atau mungkin dilengkapi jejaleknya menjadi Amak Hayati-tempe. Setelah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, ia memiliki gelar haji dan nama baru yang mirip-mirip dengan nama sebelumnya yang mungkin menjadi Haji Muhammad Salihin, atau Haji Salihin saja. Celakanya, terkadang orang lebih suka memanggil nama lengkap sebelumnya dengan hanya menambah gelar hajinya saja sehingga Haji Muhammad Salihin lebih dikenal sebagai Haji Saleh-tempe, walau kasus demikian tidak terlalu banyak.

Pada hakikatnya dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung, bila mengenal nama seseorang secara lengkap, baik dengan nama pengamak/penginak, jejalek dan jejuluknya, ini berarti kita akan mengetahui pribadi orang tersebut secara lengkap, latar belakangnya, yang dialaminya, tampilan fisiknya, kepribadiannya, kekonyolannya, dan lain-lain, cukup hanya dengan menanyakannya sama seseorang, misalnya: “Kenapa Saleh itu disebut tempe?”. Orang Sasak manapun di Bengkaung akan menjawab pertanyaan itu secara jelas dan lengkap. Adapun mengenai suka atau tidak sukanya seseorang dengan nama jejalek dan jejuluknya itu tergantung pada orang yang bersangkutan, tapi ketidak-sukaan seseorang pada nama jejaleknya atau jejuluknya akan menjadikannya kaku. Orang lain akan tetap memanggilnya atau menyebutnya demikian, karena itu adalah kesepakatan spontan bersama masyarakat.

Beberapa contoh nama-nama orang Bengkaung yang juga ada beberapa pernah menjabat keliang atau penghulu di masa lampau misalnya: Amak Adis-dogok, Amak Sati-jorek, Amak Nusiah-donclok, Amak Iyan-begol, Amak Nurinah-owok, Amak Yahmin-empang, Inak Yahmin-ambul, Imah-jintor, Lok Yah-unong, dan lain-lain. Penjelasan tentang orang-orang yang menyandang nama di atas ada pada lanjutan nama atau jejalek yang mengikutinya.

Sistem penamaan sekarang ini memiliki kecenderungan untuk melenyapkan urutan atau siklus penamaan di atas. Nama-nama anak era sekarang sudah lengkap dan moderen. Ini disebabkan pengaruh pergaulan yang lebih maju, pola pikir modern, tayangan televisi dan media sosial lainnya. Kita jarang sekali mendengar kata amak atau inak untuk menyebut orang tua seseorang. Amak dan inak digantikan oleh bapak dan ibu yang lebih bersifat nasional, lebih kekinian dan sesuai dengan kondisi sekarang sekalipun dengan menumbalkan sebuah kearifan lokal, legasi nenek moyang dari masa lampau.

Jumat, 10 Juni 2022

TRAH KELUARGA BENGKAUNG SERAYA

Seraya (Dalam pengucapan Sasak dibaca: S’raye) adalah nama sebuah dusun di bukit sebelah barat lembah Bengkaung. Warga Bengkaung menamakannya gunung baret (Bukit Barat-pen). Menyebut Seraya tidak akan pernah meninggalkan nama Bunian yang merupakan nama dusun tetangga di bukit sebelah timur lautnya. Mereka dari rumpun sama yaitu Bengkaung perbukitan yang kemudian dikenal sebagai daerah BUSER (Bunian-Seraya), atau kadang dibalik menjadi SERBU (Seraya-Bunian). Keduanya merupakan bagian dari desa Bengkaung.

Seraya dulunya merupakan daerah yang rawan, karena lokasinya agak terpencil di perbukitan yang merupakan perbatasan segitiga besi (iron triangle) dari tiga desa yang bertetangga yaitu desa Bengkaung, desa Sandik, dan desa Senteluk. Ketiganya di wilayah kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat. Karena letaknya yang strategis dan kerentanannya yang menjadi sasaran kejahatan seperti pencurian, perampokan dan yang lainnya maka pola pemukiman perumahannya terkumpul di suatu lokasi yang kemudian disebut Seraya. Konon, kata “seraya” sendiri merajuk pada nama salah satu banjar Bali di wilayah kelurahan Pagesangan Kota Mataram yang dulunya membuka daerah ini, dibuktikan dengan adanya seme (Pemakaman warga Hindu) dan sumur pancuran (Pancor) tempat mandi dan mengambil air warga setempat, serta sebuah pohon yang sangat besar dan tua yang berumur ratusan tahun.


Keluarga Bengkaung Seraya

Dalam publikasi yang bertemakan: Cikal Bakal Trah Banuwara, dan beberapa tema lainnya dalam blog ini disebutkan bahwa Titik Jagad - datu/pengeraksa Banuwara terakhir, yang adalah salah satu cicit Titik Gembot, memperanakkan tujuh orang anak, yang terdiri dari empat orang laki-lagi dan tiga orang perempuan (Sumber lengkap disebutkan dalam tulisan yang berjudul “Van Banuwara” - terbit Juni 2021). Mereka adalah: Miraja (Papuk Eja), Peleloh (Papuk Elo atau Amak Rumaji), Pengal (Papuk Pengal), Seorang puteri tidak ditahu namanya, Ranggik (Papuk Ranggik), Inak Rinayu, dan Suraja (Papuk Owok atau Amak Nurinah).

Keempat puteranya, yaitu: Miraja, Peleloh, Pengal, dan Suraja, tidak akan kita bahas dalam publikasi ini, karena mereka adalah keturunan laki-laki yang menurunkan trah Banuwara yang sudah banyak disebut dalam berbagai tulisan. Yang akan disampaikan adalah ketiga puteri Titik Jagad, yang mana dari ketiganya dikhususkan pada satu orang yang memiliki trah jelas yaitu: Inak Rinayu, yang menetap dan beranak-pinak di dusun Seraya. Dua orang puteri lainnya tidak ada catatan, hanya keberadaanya dan nama salah seorang di antaranya yang dapat diidentifikasi sebagai Papuk Ranggik.

Inak Rinayu yang menetap di Seraya, adalah anak keenam dari Titik Jagad, dan anak puteri yang paling muda. Dari sumber yang menyampaikan disebutkan Inak Rinayu menikah, dan memperanakkan: Rinayu (Inak Ayah), Amak Sati (berjejalek: Jorek), Acah alias Amak Nusiah (berjajalek: Donclok), dan Lok Iyah (berjejalek: Unong). Rinayu memperanakkan Ayah. Amak Sati memperanakkan Sati, dan Iyah. Acah memperanakkan: Nusiah, Ali, dan Saleh. Lok Iyah tidak berketurunan.

Sati (Inak Tsaniyah) binti Amak Sati menikah dengan Ani (Amak Tsaniyah) bin Rawit (Amak Ani) bin S’riyan (Amak Rawit), memperanakkan: Tsaliyah, Tsaniyah, Alisyah, Alifah, Samiyah, dan Maulud. Tsaniyah menikah dengan Mustafa (Amak Yahya) bin H. Muhammad Shaleh bin Suraja (Amak Nurinah), memperanakkan: H. Muhammad Zakaria, Darmataksiyah, H. Mushawwir, Khoti’atun, Harun, dan Hj. Syari’ah. Alisyah alias Amak Sapiyah (Kemudian menjadi H. Lukmanul Hakim) menikah dengan Syarifah (Inak Fatimah), memperanakkan: Sapiyah, Muhammad, Natsir, Sitiyah, dan Duriyah. Alifah menikah dengan Hormat bin Ali (Amak Ratimah) bin Amak Saim, memperanakkan: Wahid, Wahab, dan Badaruddin. Dari suaminya yang lain bernama Ati (Amak Nep), Alifah memperanakkan Saimah. Dari suaminya yang ketiga bernama Amak Kitok, Alifah tidak memperoleh anak. Samiyah menikah dan memperanakkan: Fajariyah, Abbas, Jamaluddin, Mahsun, dan Marniyah. Maulud menikah dengan Muhammad Natsir memperanakkan: Mahyuddin, Mahsun, Muhammad, Nasrah, Abdul Munip, dan Zulkifli.

Iyah (Amak Mariyah) bin Amak Sati menikah, dan memperanakkan Mariyah.

Nusiah binti Acah (Amak Nusiah), tidak ada catatan.

Ali (Amak Rawiyah) bin Acah (Amak Nusiah) menikah dengan Inak Rawiyah, memperanakkan: Rawiyah, Sadiyah, Asiah, Muhammad, H. Abdurrahman, Rahmat, dan Hj. Maisah. Rawiyah memperanakkan Ayyub, dan Ripa'ah. Muhammad memperanakkan: Budri, Saleh, Asniyah, dan Rumsiyah. H. Abdurrahman memperanakkan Subki dan saudara-saudaranya. Rahmat memperanakkan: Mardi’in, Sari’in, dan Misnah. Hj. Maisah menikah dengan Arpin memperanakkan: Suciah, Maryam, Najmuddin, dan Ishak.

Saleh (Amak Rapiyah) bin Acah (Amak Nusiah) menikah dengan Inak Rapiyah memperanakkan: Rapiyah, Sapiyah, H. Mu’in, H. Khairuddin, dan Ahmad. H. Mu’in memperanakkan Musa dan saudara-saudaranya. H. Khairuddin memperanakkan Suhaimi dan saudara-saudaranya.

Itulah garis besar keturunan Inak Rinayu binti Titik Jagad yang menempati daerah Seraya dan sekitarnya menurut adat istiadat dan bahasa mereka. Adapun generasi sekarang mudah ditemukan tautan nasab dan kekerabatannya.


Catatan:

Untuk melengkapi publilkasi ini, terbuka ruang konfirmasi dan update bagi keluarga atau kerabat yang ingin memberikan kontribusi dan/atau mendaftarkan nama-nama dari generasi terakhir.

Minggu, 05 Juni 2022

CIKAL BAKAL TRAH BANUWARA

Kedatuan Banuwa yang berlokasi di wilayah sekitar Batukliang adalah desa/kedatuan yang berdaulat dan dihormati. Dalam Babad Lombok, disebutkan bahwa, Batukliang disetarakan dengan Praya yang mana kedua desa itu pada zaman Anak Agung terakhir diharuskan membayar pengakuannya terhadap kedaulatan kerajaan Bali Mataram dengan upeti getih (Pertempuran-pen.). Banuwara dari kata “Banuwang Panagara” yang berarti : Negara Orang Banuwa, adalah teritorial yang terletak di wilayah juring baret (Lombok bagian barat-pen). Kedatuan ini didirikan oleh Dharma yang lebih dikenal sebagai Titik Gembot - Si Nenek ketiga yang mencabut (telah dijelaskan sebelumnya dalam publikasi yang bertemakan Legenda Bukit Ngeredeng). Sebelumnya Banuwara merupakan bagian dari kedatuan Banuwa, tetapi kemudian memisah menjadi kedatuan yang berdiri sendiri pada 1720.

Dalam transkrip kuno yang disebut Babad Boentji Serawak, yang dibahas ulang oleh Vogelesang dalam Waktoe Teloe-verhalen (der Sasaks op Lombok) - Babad Boentji Serawak  pada 1923 dideskripsikan bahwa: Sebelum dunia diciptakan, alam semesta itu dalam keadaan kacau. Yang ada hanya nur (shine, light). Setelah bumi dan cakrawala mengambil bentuk padat, lahirlah empat nabi (Nama-nama nabi ini tidak disebutkan). Menyusul kemudian penguasa surga dan neraka dengan nama Datu Ketip Pandita Mas. "Dia yang tertinggi di surga dan neraka. Anaknya yang pertama lahir bernama Datu Betara Indra. Di negeri tempat kesendirian dan kemalasan merajalela, anak keduanya lahir, juga laki-laki, diberi nama Datu Turgi. Kemudian negara bagian Lombok diciptakan. Putra ketiga Datu Ketip Pandita Mas bernama Datu Durga Pasti, dia menjadi Raja Selaparang. Menyusul adik perempuannya bernama Putri Petimah (Fatimah) yang menjadi penguasa Negeri Sesela". Datu Betara Indra kemudian dikenal sebagai raja Sasak Suwung yang merupakan salah satu kerajaan pertama di pulau Lombok.

Beberapa desa/kedatuan yang dianggap merupakan kerajaan-kerajaan pertama di pulau Lombok berdasarkan banyak transkrip kuno yang relevan sebagai berikut: Sasak, Kedaro, Laek, Sasak Tela, Pamatan, Sasak Suwung, dan Sasak Lesong. 

Mengenai Sasak Suwung, dari sumber lain dikatakan bahwa: Sebenarnya raja pertama kerajaan Suwung berdarah lokal atau dari dalam Lombok sendiri. Raja ini dikenal sebagai Arya Satus. Disebutkan bahwa Arya Satus sebelumnya adalah raja Sasak Tela yang menguasai pulau Lombok bagian selatan. Raja ini kemudian menyatukan seluruh Lombok dan berganti nama menjadi kerajaan Sasak Suwung. Tetapi kemudian, datang penguasa dari pulau Jawa yang mengalahkan raja ini dan menguasai Suwung. Raja penakluk tersebut bernama Betara Indra.

Babad Suwung, menyebutkan bahwa: Datu Betara Indera menikah dengan Dewi Sita (Shinta), memperanakkan dua belas orang putera yang kelak setelah meletusnya gunung Samalas (Rinjani) mendirikan desa-desa yang menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan di Lombok. Salah seorang anaknya, yaitu puteranya yang kesebelas bernama Ki Nyaka Koarlalang mendirikan kerajaan/kedatuan Banuwa (Wilayah sekitar kecamatan Batukliang, Lombok Tengah sekarang) pada 1257. Beliau kemudian dikenal sebagai Ama’ Kurlanglang, Tumenggung Batukliang I. Kurlanglang juga menuliskan manuskrip yang mendukung Babad Suwung dan Piagam Banuwa.


Dalam manuskrip tersebut dikatakan bahwa kedua belas putera Betara Indera yang dimaksud adalah:
Ama Rara/Betara Lombok, Raja Suwung II;
Ama Nyaka, Pendiri Brangbantun;
Ama Langkokun/Rangga Baindesa, Raja di Langko;
Ama Salut, Raja di Salut;
Ama Balun, Raja di Sembalun;
Ama Bayan, Raja di Bayan;
Ama Brang Tapen/Rangga Pejanggik, Raja Pejanggik;
Ama Talkoang/Tumenggung Taloang, Raja Bakong (Taliwang);
Ki Nyaka Seet, Raja Aik Mual;
Ki Nyaka Lombok, Raja Lombok kemudian beralih ke Brenga;
Ki Nyaka Koarlalang, Tumenggung/Raja Banuwa 1257-
Ama Pebangeran/Tumenggung Pebangeran, Raja Sokong.

 

Trah Banuwa bermula dari Ki Nyaka Koarlalang (Ama’ Kurlanglang) yang memperanakkan dua orang putera. Salah satunya bergelar Sungsunan Banuwang II yang kelak menggantikan beliau sebagai raja Banuwa berikutnya. Puteranya yang lain bernama Nek Panji Doyan Nada (Doyan Medaran) yang menikahi puteri Langko - salah seorang sepupunya. Doyan Nada memperanakkan Ki Sahiki, Ki Sukurti dan Ki Arungan. Ketiga putera Doyan Nada ini dimakamkan di Serumbung. Trah Banuwa dan pedaleman Batukliang berlanjut dari Sungsunan Banuwang II.

 

Sungsunan Banuwang II menurunkan raja-raja Banuwa berikutnya kurang lebih sebanyak delapan generasi yang dimulai dari akhir abad XIII sampai era Benuha - Datu Banuwa yang memerintah pada paruh kedua abad XVII. Datu Banuwa (Benuha) memperanakkan Batuwa dan Dharma, serta menurunkan pedaleman Mantang. Batuwa, menjadi datu Banuwa yang terakhir, memperanakkan dua orang puteri yaitu Kendran dan Bunian. Kendran kemudian menikah dengan Meraja Kusuma raja Pejanggik pada 1699. Bunian yang juga dipanggil Bune mengasingkan diri ke sebuah bukit di wilayah Banuwara, dan kemudian mendirikan sumur yang airnya tidak pernah mengering hingga saat ini. Dharma mendirikan dan memerintah Banuwara di juring baret pada 1720. Dharma sebelumnya adalah mahapatih dan panglima tinggi Banuwa. Kemudian meminta wilayah barat ini menjadi miliknya dan tidak mau membayar upeti kepada saudaranya - Datu Batuwa. Pedaleman Mantang menurunkan para pemimpin desa Mantang salah satunya Mamik Tadi Lalu Dikawat atau lebih dikenal sebagai Mamik Dikawat, yang pada era Anak Agung Mataram berkuasa menitipkan rakyatnya ke Banuwara yang dipimpin oleh Dharma. Satu dekade setelah pemerintahannya, Dharma terlibat konflik dengan penguasa tetangganya di sebelah utara yaitu demung daerah Menggala yang menganeksasi daerah Pusuk dan Semaya. Akhir penyelesaiannya adalah pertempuran simbolik antar keduanya dengan masing-masing menelan tujuh keris musuhnya. Demung Menggala dapat dikalahkan oleh Dharma. Datu Banuwara mencabut ketujuh tonjolan keris yang sebelumnya ditelan sang demung, tetapi kemudian menembus perut penguasa Menggala tersebut dengan rasa sakit yang tiada terperi. Sejak itulah Dharma dikenal sebagai Titik Gembot yang berarti: Nenek ketiga yang mencabut. Kemudian Pusuk dan Semaya dikembalikan kepada Banuwara.

 

Dharma atau Titik Gembot memperanakkan Titik Gembot II, dan sepasang anak kembar yang dikenal sebagai Titik Ngringik dan Titik Ngrangak. Titik Gembot II menjadi raja Banuwara II, memperanakkan Titik Gembot III yang kemudian menjadi raja Banuwara III. Titik Gembot III memperanakkan Titik Jagad dan Titik Serani. Titik Jagad yang kemudian menjadi raja Banuwara IV atau terakhir yang memerintah sampai 1888.

 

Catatan dari tahun 1888 saat berakhirnya era Banuwara tidak begitu jelas. Hanya disebutkan dari sumber verbal yang lahir tahun 1890-an yang sempat hidup sampai dekade akhir abad XX, dan menerima berita dari orang tua dan kerabatnya yang menjadi pelaku sejarah, bahwa setelah pertempuran yang berhasil mengalahkan agresor Bali Mataram yang menyerbu Banuwara justru ekonomi kedatuan menjadi terpuruk akibat perang dan tidak adanya suksesor menggantikan pengeraksa terakhir. Saat ini Banuwara dalam status quo dengan bayang-bayang pengaruh yang saling tarik ulur antara penguasa Anak Agung dan administrator Hindia Belanda. Namun ini berlangsung tidak terlalu lama, karena kurang dari satu dekade kemudian, atau tepatnya tahun 1894 terjadi perang Lombok yang mengakhiri kekuasaan raja-raja Bali yang telah menguasai Lombok selama satu setengah abad.


Titik Jagad - raja dan pengeraksa Banuwara terakhir, memperanakkan empat orang putera dan tiga orang puteri. Anak-anaknya inilah yang menurunkan trah Banuwara abad XIX dan XX. Empat orang putera Jagad tersebut bernama Miraja (Papuk Eja), Peleloh (Papuk Elo atau Amak Rumaji), Pengal (Papuk Pengal), dan Suraja (Amak Nurinah) yang kemudian lebih dikenal sebagai Papuk Owok, penghulu Islam waktu lima pertama di wilayah Banuwara yang kini bernama Bengkaung.


Sabtu, 04 Juni 2022

KRONOLOGI SEJARAH BENGKAUNG

Kronologi sejarah Bengkaung berdasarkan sumber-sumber tertulis seperti: Piagam Banuwa, Babad Selaparang, Catatan Muh. Rabbi' (Amak Muhrim) bin H. Muh. Amin (1896-1993), dan beberapa narasumber terpercaya, serta informasi pelaku sejarah yang sempat hidup sampai menjelang akhir abad XX, dan juga dari data-data terbaru dan profil Desa Bengkaung dapat dirincikan sebagai berikut:

1720 - Banuwang Panagara atau Banuwara yang kemudian bernama Bengkaung didirikan oleh Dharma yang kemudian lebih dikenal sebagai Titik Gembot, putera Datu Banuwa. Banuwara berdiri sebagai hasil tuntutan Dharma pada saudaranya Datu Batuwa untuk memiliki wilayah pemerintahan sendiri di Juring Barat (Baca: Lombok bagian barat-pen.), dimana ketika itu Banuwa barat merupakan bagian Kerajaan Banuwa yang berpusat di sekitar Mantang (Teritorial wilayah Batukliang), Lombok Tengah. Setelah berdiri sebagai kerajaan tersendiri bernama “Banuwang Panagara” yang berarti: Negara Orang Banuwa.

1730 - Terjadi pertempuran antara Dharma, Raja Banuwara dengan Demong Menggala menyangkut masalah perbatasan Banuwara dan Bentek. Demong Menggala yang wilayahnya sampai Bentek, di bawah pengaruh Raja Sokong Prawira. Pertempuran berakhir dengan kemenangan Dharma yang mencabut ketujuh keris yang ditelan penguasa Menggala tersebut dari perutnya yang terasa begitu sakit, sehingga memaksa Demong berjanji menarik pasukannya dari Semaya dan Pusuk. Puncak Pusuk kembali menjadi batas alam dan adat yang disepakati sejak saat itu. Sejak peristiwa pencabutan keris ini pulalah Dharma dikenal sebagai “Titik Gembot.” yang berarti: Nenek ke-tiga Sang Pencabut (“Gembot” dari akar kata embot: cabut-pen.).

1815 - Mamiq Dikawat menitipkan sebagian bangsawan Mantang di Banuwara. Saat ini Banuwara dipimpin Titik Jagad, cicit Titik Gembot, yang mengakibatkan penyerbuan tentara Bali dari Karangasem ke wilayah ini. Tentara Bali melakukan penyerbuan ke Banuwara dua kali berturut-turut dalam dua tahun, memburu orang-orang Banuwa yang bersembunyi di Banuwara.

1820 - Muncul dua belas tokoh Banuwara yang dikenal kemudian sebagai 12 Pemimpin Bengkaung yang kemudian menyusun kekuatan sambil bersembunyi di hutan bukit utara Bengkaung. Pasukan Bali enggan memasuki tempat ini, dan terusir oleh teriakan-teriakan dari bukit yang kemudian dinamakan “Gunung Surak”, yang berarti: Bukit Teriak. Kemudian secara serempak turun (beng) bukit, dan berkumpul (kaung) di lembah selatan (sebagai dasar pendapat sebagian orang tentang asal mula disebut bengkaung). Beberapa di antara tokoh-tokoh tersebut bernama: Barsah, Barsiyah, Banggras, Guru Saleh, Guru Rentani bin Masjani, Sumidah, Suminggah, dan lain-lain.

1888 - Penguasa Bali Anak Agung memburu bangsawan dan para haji Sasak secara keseluruhan, karena beranggapan bahwa semua pemberontakan baik dalam skala besar atau kecil didalangi oleh mereka. Pemberontakan di Anyer, Banten pada bulan Juli tahun ini yang dipimpin oleh para Paderi, menjadi alasan para penguasa Bali di Lombok untuk menekan rakyat Sasak. Pada masa ini gelar kebangsawanan Sasak “Datu” di Bengkaung ditanggalkan untuk menghindari pembantaian oleh kaki tangan Anak Agung dari Mataram. Untuk sementara waktu, para haji Sasak, tidak berani menggunakan gelar hajinya.

1890 - Pemberhentian Guru Merdet dari jabatan Penghulu (Wetu Telu) Bengkaung karena kalah berdebat dengan salah seorang warganya. Kemudian ditunjuk Suraja alias Guru Nurinah Owok sebagai Penghulu (Waktu Lima) pertama di Bengkaung. Dari Suraja inilah dinisbatkan nama Bani Nurinah. Penunjukannya sebagai penghulu setelah dilakukan pencarian mengenai figur asli turunan pimpinan Bengkaung yang ternyata adalah Suraja sendiri, yang adalah salah seorang canggah dari pendiri Bengkaung – Titik Gembot.

1894 - Perang Lombok terjadi antara penguasa Bali Anak Agung dengan Hindia Belanda berakhir tahun 1895. Sejak masa ini Lombok berganti tuan. Supremasi Bali tidak lagi ada, digantikan dengan penjajah Belanda yang kemudian menyusun administrasi pemerintahan. Imah ditunjuk sebagai keliang pertama yang memerintah Bengkaung pada masa Hindia Belanda.

1904 - Tanah-tanah milik pribadi para pamusungan, keliang dan penghulu dijadikan pecatu oleh pemiliknya untuk menghindari upeti. Akibatnya beberapa tanah para pejabat kampung menjadi milik Gubernemen. Namun pada kenyataan selanjutnya, tetap saja mereka harus membayar upeti. Sementara beberapa tanah sawah yang dijadikan tanah pecatu tidak bisa diambil kembali oleh pemilik dan keturunannya.

1928 - Beberapa orang dari Bengkaung dan dari beberapa desa lainnya, turut ambil bagian dalam pekerjaan membangun jalan raya menembus gunung Pusuk yang merupakan Proyek Gubernemen. Mereka berpeluh dengan baju compang camping di bawah pengawasan supervisor Belanda dengan pakaian gagah di atas kuda.

1930 - Wafatnya H. Muh. Shaleh bin Suraja, penghulu kedua Bani Nurinah. Pada waktu itu, kepeng bolong masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, cucunya Akar (Zakariya) yang kemudian menjadi (H.) Muh. Zakaria bin Mustafa baru belajar merangkak. Sebelum wafatnya, H. Muh. Shaleh mewasiatkan agar kepenghuluan sesudahnya dipegang oleh puteranya Mustafa. Tetapi karena Mustafa masih terlalu muda, yaitu sekitar + 32 tahun, maka kepenghuluan dipegang oleh pamannya Abd. Hamid yang dikenal sebagai Amaq Yahmin bin Suraja. Keliang (Kepala Kampung) Bengkaung saat itu adalah Majid alias Amaq Addis yang menggantikan H. Muh. Amin bin Amaq Risman.

1942 - Bala tentara Jepang (Dai Nippon) mendarat di Ampenan pada 8 Mei. Banyak pengungsi dari Ampenan menetap di Bengkaung selama beberapa waktu. Keturunan mereka banyak yang menjalin hubungan dengan warga Bengkaung hingga saat ini. Salah seorang pengungsi itu adalah Tuan Syayyid Hussein yang tinggal di rumahnya Muhammad Nasir di Bawak Duren, Bengkaung Daye. Seorang pengungsi lainnya bernama H. Jamaluddin, ayahanda H. Mudahir, tinggal di rumah Amak Ait, ayahanda (H.) Ahmad Basahir, tetangga dan misan Muhammad Nasir. Asap membubung di atas kota pelabuhan Ampenan. Tentara Belanda ditelanjangi dan dilucuti oleh Dai Nippon. Saat ini yang menjadi Keliang di Bengkaung adalah Ratimah al. H. Rafi’i Idan bin Ali bin Aq. Saim, dan Penghulu adalah Abd. Hamid bin Suraja.

1945 - Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Muhammad Hatta di Jakarta. Bagi masyarakat Sasak waktu itu, termasuk di Bengkaung, proklamasi kemerdekaan berarti berganti tuan, yakni dari Hindia Belanda kepada “Penguasa Jawa.” Semata-mata hanya untuk memenuhi nubuat Filsafat Sasak dari aksara-aksara awal Jejawan: Ha Na Ca Ra Ka, dengan penjelasan: Ha (Kekuasaan raja-raja Hindu/Budha); Na (Penjajahan Neders/Hindia Belanda); Ca (China/Champa yang berarti pendudukan Jepang); Ra (Pemerintahan Republik) dan Ka yang hingga kini belum diketahui makna dan realitanya.

1952 - Setelah tiga tahun menjadi keliang yaitu dari tahun 1949, Mustafa alias Amaq Yahya bin H. Muh. Shaleh bin Suraja membantu tugas-tugas kepenghuluan yang dipegang oleh Abd. Hamid alias Amaq Yahmin bin Suraja. Kepenghuluan di Bengkaung bagian utara dipegang oleh Abd. Hamid, dan di selatan diserahkan kepada Mustafa. Mustafa secara resmi menjadi penghulu di seluruh Bengkaung pada 1967 menggantikan Abd. Hamid, pamannya yang sudah uzur.

1965 - Meletus peristiwa G 30 S/PKI dan penumpasannya. Beberapa di antara warga Bengkaung yang terlibat hanya semata-mata sebagai partisan tidak aktif dari partai pendukung PKI seperti PIR (Partai Indonesia Raya) yang berlambang padi. Saat para petugas mencari orang-orang yang terlibat PKI dan ormas pendukungnya, maka H. Muh. Anwar bin (H.) Muh. Imam, mengatakan: “Di sini aman, tidak ada yang terlibat,” maka bebaslah orang-orang Bengkaung seperti Japar bin Rumaji, Ayep bin Yahudza, dan beberapa orang lainnya dari eksekusi maupun hukuman ringan seperti penjara atau wajib lapor. Pada masa itu paceklik di Bengkaung yang keliangnya adalah Saat alias Amaq Sapurah bin Pasah alias Amaq Acheh.

1971 - Untuk pertama kalinya seorang warga Bengkaung muncul dalam pemerintahan daerah Lombok Barat ketika H. Muh. Anwar bin (H.) Muh. Imam terpilih sebagai anggota DPRD Lombok Barat pada Pemilu pertama Orde Baru. H. Muh. Anwar dari PSII sebelum fusi dengan empat partai lainnya menjadi PPP pada pemilihan umum periode berikutnya di tahun 1977. Keliang Bengkaung saat ini adalah Ra’is alias Amaq Arifin bin Amaq Risman, yang mengundurkan diri tahun 1975 setelah menulis surat pendek kepada Presiden Republik Indonesia – Soeharto, yang bunyinya: “Saya mengundurkan diri jadi kepala kampung.”

1975 - Ra’is bin Amaq Risman mengundurkan diri dari jabatan kepala kampung, untuk kemudian segera dilakukan pemilihan kepala kampung Bengkaung berikutnya. Pemilihan dilakukan secara langsung oleh masyarakat Bengkaung. Tiga yang dicalonkan adalah Muniah bin Japar, Cembun bin Ali keduanya dari Bengkaung Lauq, dan H. Halil bin Asi dari Bawak Duren. Pemilihan dimenangkan oleh H. Halil bin Asi secara amat telak! Dua calon dari Bengkaung Lauq tadi yang merupakan calon-calon unggulan H. Muh. Anwar bin H. Muh. Imam, hanya memperoleh akumulasi 14 suara. Sisanya lebih dari empat ratusan suara menjadi milik H. Halil bin Asi, yang merupakan calon unggulan (H.) Muh. Zakaria bin Mustafa. Kemudian H. Halil memerintah Bengkaung selama lebih dari dua dekade, yaitu sampai saat pengunduran dirinya di bulan September 1997 dengan alasan untuk pergi melaksanakan hajji yang kedua kalinya.

1977 - Berdirinya SD pertama di Bengkaung yang diprakarsai oleh (H.) Muh. Zakaria bin Mustafa. Walaupun tidak mendapat dukungan sama sekali dari rekan seperjuangannya yang juga sepupunya H. Muh. Anwar bin (H.) Muh. Imam dengan alasan, bahwa sudah ada institusi pendidikan yaitu MI Raudhatul Muslimin NW Kayangan yang juga mereka berdua ikut terlibat dalam pendirian dan pembangunannya. SD Darurat Bengkaung menggunakan rumah (H.) Muh. Zakaria sebagai tempat belajarnya sampai pintu-pintu dan jendela-jendela ruangan belajarnya rubuh ditendang siswa saat didatangkan tukang suntik. SD Darurat kemudian pindah ke gedung baru yang dibangun di Bangket Telaga menjadi SD Inpres Bengkaung, kemudian menjadi SD Negeri Bengkaung.

1979 - Kampung Bengkaung dibagi menjadi dua yaitu Kampung Bengkaung Lauq (wilayahnya meliputi Bengkaung Lauq, Bengkaung Tengaq, Bengkaung Daye, Bunian dan Seraya), dan Bengkaung Daye (wilayahnya meliputi Pelolat, Kedondong Atas dan Bunut Boyot). Istilah kampung diganti menjadi dusun. Dusun Bengkaung Daye dipimpin oleh Utar bin Lebar bin Pasah, penghulunya H. Halil, dan Dusun Bengkaung Lauq dipimpin oleh H. Halil bin Asi, penghulunya (H.) Muh. Zakaria bin Mustafa. Saat itu kedua dusun Bengkaung desanya di Kekait Kecamatan Ampenan.

1990 - Untuk pertama kalinya, dengan Program Padet Karya, Jalan Lintas Bengkaung diperlebar pada bulan Oktober 1990. Mobil-mobil besar sudah bisa berpapasan dengan aman, walaupun jalan sendiri belum diaspal dengan alasan tidak ada tembusannya alias jalan buntu. Padet Karya memperlebar jalan sepanjang + 1 kilometer dari Sandik sampai kaki Bukit Bunian. Cukup memuaskan masyarakat untuk sementara.

1992 - Listrik untuk pertama kalinya menyala di Bengkaung menyusul Program Listrik Masuk Desa. Maka berakhirlah era nonton berjubel masyarakat Bengkaung yang sudah lama membudaya. Setiap rumah memiliki TV yang tenaga baterainya dari energi listrik. Era nonton berjubel adalah masa-masa ketika TV masih sedikit, channelnya masih TVRI saja, dimana warga Bengkaung menonton beramai-ramai, tua muda, laki-laki perempuan, gadis bujang, bahkan para baheula untuk menonton acara-acara yang ditayangkan TVRI yang sumber energinya dari accu (baca: aki-pen.), dimana rawan terjadi perkelahian, pelemparan dan bentuk anarkhisme lainnya yang kadang terjadi secara spontan dan tiba-tiba, baik karena kekecewaan penonton ataupun rebutan pacar, karena terkadang acara nonton dijadikan ajang temu jodoh. Masuknya listrik juga dimanfaatkan oleh seorang politisi dari PPP yang mau cari muka pada masyarakat untuk memberi masyarakat image bahwa : Berkat perjuangan dialah listrik masuk Bengkaung. Karena memang secara kebetulan menjelang berdirinya tiang-tiang listrik, PPP barusan menang di Kampung Bengkaung Lauq dalam Pemilihan Umum tahun 1992.

1999 - Dimekarkan Desa Kekait menjadi Desa Kekait dan Desa Persiapan Lembahsari. Kedua dusun Bengkaung masuk dalam Desa Persiapan Lembahsari yang berkantor di Sidemen Lauq. Peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian cukup mencengangkan, yaitu terjadi Peristiwa “Jum’at Rusuh” di Sidemen Lauq yang hampir saja merenggut jiwa Kepala Desa Persiapan Lembahsari H. Nuruddin bin H. Tajuddin. Penyelesaiannya dengan pemberhentian H. Nuruddin dari jabatan Kepala Desa dan diganti oleh sekretaris desanya yaitu Sadli bin H. Shabri bin Abd. Hamid bin Suraja, yang pada waktu itu menjabat Sekretaris Desa merangkap Kepala Dusun Bengkaung Lauq. Sadli dari Bani Nurinah adalah putera Bengkaung pertama yang menjadi Kepala Desa. Saat ini Desa Persiapan Lembahsari dan Desa Kekait masuk dalam teritorial wilayah Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat.

2001 - Desa Persiapan Lembahsari definitif menjadi Desa Lembahsari. Desa ini sebelumnya memiliki empat dusun yaitu: Sidemen Lauq, Sidemen Daye, Bengkaung Lauq dan Bengkaung Daye. Seiring dengan definitifnya, semua RT atau dasan-dasan dalam keempat dusunnya menjadi dusun-dusun definitif tersendiri. Demikian pula kepenghuluannya. Saat ini Desa Lembahsari masuk dalam territorial Kecamatan Batulayar yang merupakan kecamatan baru, pemekaran dari Kecamatan Gunungsari. Kedua dusun Bengkaung terbagi-bagi sesuai dasan atau RT-nya sehingga keseluruhannya menjadi delapan dusun definitif. Selanjutnya dilaksanakan pemilhan kepala desa yang pertama setelah definitif pada 22 Agustus 2001. Terpilih sebagai Kepala Desa Lembahsari yang pertama adalah: Sadli bin H. Shabri bin Abd. Hamid bin Suraja. Pada pemilihan kepala desa Lembahsari periode berikutnya yaitu tanggal 15 Januari 2007, Sadli kembali terpilih setelah melibas rival-rival politiknya, yaitu: Musbah bin H. Murad bin H. Muh. Munir, Syafi’i bin H. Tajuddin dan Syahiruddin.

2004 - Dibuka Jalan Lintas Gunung Barat dan Utara yang dimulai dari Bangket Telaga di Bengkaung Lauq melintasi tanah pecatu di sebelah barat, belok ke utara menembus Seraya dan Bunian, atas prakarsa seorang politisi asal PDIP yang bernama H. Mudahir bin H. Jamal dari Ampenan, yang dibahasakan sebagai suatu balas budi kepada masyarakat Bengkaung atas bantuan mereka pada beliau dan keluarganya waktu mengungsi di tahun 1942 (Baca peristiwa tahun 1942 di atas). Pada tahun 2010, walaupun aspal hotmix hanya sampai dipertigaan Bunian, namun aspal lanjutannya belok kanan menurun sekitar setengah kilometer, ke selatan sampai Sandik aspal rusak. Jalan darurat dari pertigaan Bunian ke utara dibangun terus dengan pese lewat Program PNPM Mandiri tembus ke Pelolat terus ke Penanggak. Jalan berakhir di samping selatan Kantor Camat Batulayar di Melasa.

2011 - Pemekaran Desa Lembahsari menjadi Desa Lembahsari dan Desa Persiapan Bengkaung. Kantor Desa ditempatkan di eks Balai Dusun Bengkaung Lauq sebelum pemekaran. Kemudian tercatat beberapa aparat Desa Persiapan Bengkaung yang pertama, yaitu: Plt. Kepala Desa: Ahmad Raimah, A.Ma; Ketua BPD: A. Taufik Syukrianto, S.Sos; Plh. Ketua Umum LPM: Faizul Bayani, M.Pd; Penghulu Desa: Khairul Hafidzin, QH; dan Plh. Sekretaris Desa: Syaiful Nazar, S.IP. Tahun ini juga dianugerahi dengan dihotmixnya jalan Lintas Bengkaung di dataran sepanjang + 1 kilometer, yaitu jalan yang pernah diaspal beberapa waktu sebelumnya dengan batu-batu yang ditempel dan dikeraskan secara kasar. Jalan ini cukup menyakiti masyarakat Bengkaung selama beberapa waktu karena menjadi jalan rusak berkerikil yang kalau dilalui akan terasa makin menyakiti dada pengguna jalan. Jalan yang dihotmix ini, di kiri kanannya pada beberapa bagian ditalut, kini nyaman digunakan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Bengkaung. Tak ayal! Seorang politisi dari salah satu parpol memanfaatkan momen ini untuk mengakui, bahwa berkat perjuangannyalah program pembangunan jalan ini bisa direalisasikan.

2012 - Definitifnya Desa Bengkaung. Dilantiknya Anggota BPD 30 desa baru se-Kabupaten Lombok Barat, termasuk BPD Bengkaung yang diketuai A. Taufik Syukrianto, S.Sos pada 11 April. Desa Bengkaung kemudian menyelenggarakan pemilihan kepala desa yang pertama pada 18 Juli yang berhasil sukses di bawah kepanitiaan Pilkades Bengkaung yang dipimpin oleh H. Syaruji. Terpilih Kepala Desa pilihan masyarakat yang pertama adalah H. Ahmad Junaedy. Serah terima jabatan yang dirangkai dengan pembubaran panitia Pilkades diselenggarakan pada 1 September, dua hari setelah pelantikan dua kepala desa baru Kecamatan Batulayar.