Minggu, 24 November 2024

SISTEM PENGUCAPAN DAN SEBUTAN KEKERABATAN MASYARAKAT BENGKAUNG

Dalam masyarakat Bengkaung yang dipengaruhi akar kebudayaan suku Sasak Banuwa dan Selaparang menggunakan sandangan lok dan le untuk pribadi perorangan yang sejajar atau yang lebih muda, memiliki sistem pengucapan dan sebutan kekerabatan yang digunakan sehari-hari secara konsisten. Kearifan ini secara turun-temurun menandai hidup dan berkembangnya budaya masyarakat suku Sasak Bengkaung dari waktu ke waktu.
 
 
Dialek dan Sistem Pengucapan
 
Bahasa Sasak Lombok terbagi dalam tiga sistem dialek, yaitu: ngeno-ngene, meno-mene, merikak-merikuk. Masyarakat Sasak Bengkaung menggunakan dialek ngeno-ngene dan sebagian kecil memakai meno-mene. Dengan tiga macam dialek pengucapan di Bengkaung dapat dirinci dari daerah pengunungan di utara seperti wilayah PBB (Pelolat - Bunut Boyot) dan Buser (Bunian - Seraya) dengan dialek pengucapan ngeno-ngene yang paling lekat. Sementara wilayah Beda (Bengkaung Desa atau Bengkaung Dataran) yaitu Bengkaung Daye, Bengkaung Tengak, dan Bengkaung Lauk menggunakan sistem pengucapan dengan lekatan sedang. Bengkaung Daye dan Bengkaung Tengak yang menggunakan dialek ngeno-ngene, sementara wilayah paling selatan Bengkaung yaitu di Bengkaung Lauk menggunakan dialek meno-mene seperti halnya beberapa desa di sekitarnya.
 
Di Bengkaung, penutur bahasa Sasak dengan dialek ngeno-ngene selalu menggunakan kata sandang lok untuk laki-laki dan  le untuk perempuan. Sementara penutur dengan dialek meno-mene tidak selalu atau malah mengabaikan penggunaan kata sandang lok dan le.
 
Fathurrahman Zakaria dalam bukunya Mozaik Budaya Orang Mataram (1998) mendefinisikan bahwa sistem penyebutan sandangan lok dan le dalam bahasa Sasak mengidentifikasikan penggunanya sebagai masyarakat Sasak Lombok dari trah Selaparang. Sebaliknya penutur yang tidak menggunakan kedua sandangan tersebut teridentifikasi sebagai masyarakat Sasak Lombok dari trah Pejanggik.
 
Kedua sistem pengucapan dialek Sasak di Bengkaung yaitu ngeno-ngene dan meno-mene atau penggunaan sistem sandangan lok dan le tidak mutlak terlokalisir atau berpusar pada wilayah teritorial tertentu saja. Uraian singkat di atas hanya bersifat “umumnya”. Dalam perkembangan terakhir kedua sistem pengucapan tersebut dipraktekkan secara diaspora dan menjadi heterogen di seluruh Bengkaung. Hal tersebut dipengaruhi oleh perkembangan dan persebaran penduduk, pendidikan, pergaulan, lingkungan sosial, pola pikir, adaptasi dengan warga pendatang dan sebagainya, sehingga tampak dari luar bahwa orang Sasak Bengkaung menggunakan bahasa Sasak dialek Bengkaung tanpa memperhatikan varian lekatan.
 
 
Sebutan Kekerabatan
 
Sistem dan sebutan kekerabatan dalam masyarakat suku Sasak di Bengkaung terbagi menjadi sistem penyebutan vertikal dan sistem penyebutan horisontal. Sistem penyebutan vertikal adalah sebutan seseorang terhadap keluarga lainnya ke atas atau ke bawah. Sistem penyebutan horisontal adalah sebutan seseorang untuk anggota keluarga yang sejajar dalam kekerabatan, juga untuk sebutan dalam garis diagonal yaitu ke atas atau ke bawah secara menyamping.
 
 
Sistem penyebutan vertikal
 
Untuk panggilan kekerabatan ke atas dari si Fulan kepada bapak dan ibunya akan memanggil amak dan inak. Kalau si Fulan seorang bangsawan atau orang tuanya sudah berhaji ia akan memanggil mamik dan inak tuan. Untuk bapak dan ibu dari orang tuanya si Fulan, maka Fulan akan memanggilnya papuk dan kalau bangsawan atau sudah berhaji akan dipanggil ninik. Untuk membedakan laki dan perempuannya papuk mame atau ninik laki untuk pria, sementara papuk nine atau ninik bini untuk wanita. Kepada orang tua dari papuk atau ninik, si Fulan akan memanggil balok dan kalau bangsawan dipanggil tata. Untuk orang tua dari balok atau tata, Fulan akan memanggilnya embik dan kalau seorang bangsawan akan dipanggil titik. Untuk panggilan Fulan berikut ke atasnya secara berurut, bapaknya embik atau titik dipanggil pata, bapaknya pata dipanggil keletok, bapaknya keletok dipanggil kelatek, bapaknya kelatek dipanggil toker, dan bapaknya toker dipanggil goneng, atau kadang disebut gonder. Sebutan di atas goneng disebut secara malas sebagai simbur boyot, bawak taker, bawak dam, dan bawak daka.
 
Penyebutan ke bawah dari si Fulan kepada anaknya akan memanggil anak, dan kepada anak dari anaknya ia akan memanggilnya wai atau bai. Kepada anak wai atau bainya si Fulan akan memanggilnya walok atau balok. Dan panggilan berikutnya ke bawah akan sama dengan sebutan dari balok ke atasnya dalam sebutan kekerabatan masyarakat Sasak di Bengkaung.
 
 
Sistem penyebutan horisontal
 
Untuk panggilan kekerabatan secara horisontal bagi si Fulan kepada saudaranya akan memanggil semeton, yang lebih tua dipanggil kakak yang lebih muda dipanggil adik. Sebutan untuk saudara dari orang tuanya si Fulan, untuk laki-laki disebut tuaq atau amak saik. Untuk paman yang lebih tua disebut amak kake, yang lebih muda disebut inak kake. Untuk bibik dipanggil inak saik, yang lebih tua disebut inak kake, yang lebih muda disebut inak rari. Kepada anak dari saudara orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya pisak, dan kepada anak dari pisak orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya sempu. Untuk anak dari sempu orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya sempu dua. Selanjutnya secara horisontal akan berlanjut dengan sebutan sempu tiga, sempu empat, sempu lima, dan seterusnya. Kepada keponakannya atau anak saudaranya, si Fulan akan memamnggilnya naken atau anak semeton.
 
Panggilan untuk isteri atau suami saudara, si Fulan akan memanggilnya ipar, yang lebih tua disebut kakak ipar, yang lebih muda disebut adik ipar. Kepada saudara tirinya, si Fulan akan memanggil kakak terek untuk yang lebih tua, dan adik terek untuk yang lebih muda. Kepada orang tua tirinya, si Fulan akan menyebutnya amak terek untuk laki, dan inak terek untuk yang perempuan. Dan khusus untuk anak dari ayah tiri atau ibu tiri dari Fulan, tanpa hubungan nasab dari kedua orang tuanya, si Fulan akan memanggilnya semeton pendait. Dan kepada semeton pendait si Fulan halal menikahinya.
 
Halnya semeton pendait, kondisinya akan terjadi bilamana misalnya: Bapaknya si Fulan menikah lagi dengan perempuan bernama si Ego yang sudah bercerai dari suaminya. Sebelum bercerai dari suami lamanya si Ego miliki anak perempuan bernama si Ebon. Karena si Fulan dan si Ebon kedua orang tua masing-masing berbeda maka mereka bisa dinikahkan. Sama halnya dengan saudara angkat yang berbeda kedua orang tuanya.
 
Untuk sebutan kekerabatan yang tidak disebutkan dalam  tulisan ini disebutkan secara umum sama dengan yang lainnya. Misalnya sebutan cucu saudara, cucu misan, cucu sepupu disebut juga bai atau wai, cicit saudara, cicit misan, cicit sepupu disebut juga walok atau balok. Saudara, misan, sepupu dari kakek atau nenek juga disebutkan sebagai papuk atau balok saja, dan seterusnya.
 
Umumnya sebutan kekerabatan dalam masyarakat Bengkaung mirip atau sama dengan masyarakat suku Sasak di tempat lainnya di pulau Lombok. Kalau terjadi perbedaan tidaklah terlalu jauh dan gampang disesuaikan. Misalnya sebutan untuk besan, yaitu warang sama dengan sumbah. Sebutan untuk keponakan, yaitu naken sama dengan duan. Beberapa sebutan yang berbeda lainnya sampai saat penulisan publikasi ini masih berusaha diidentifikasi untuk melengkapi pengetahuan tentang sebutan dan sistem kekerabatan dalam masyarakat suku Sasak di Bengkaung.

Kamis, 31 Oktober 2024

SISTEM PENAMAAN DALAM MASYARAKAT SUKU SASAK BENGKAUNG

Kearifan yang senantiasa hidup dan mengalir dalam masyarakat pada suatu teritorial tertentu akan mempengaruhi perkembangan masyarakat tersebut. Masyarakat yang berbudaya akan senantiasa memelihara kearifan lokal sebagai upaya menerapkan dan sekaligus menghormati legasi dari leluhur mereka di masa lampau. Terkadang pesan dan ajaran kebijakan dari nenek moyang berbenturan dengan budaya moderen yang lebih praktis, sehingga mengakibatkan beberapa sistem sosial dalam kebudayaan itu terkikis sedikit demi sedikit untuk kemudian secara bertahap hilang dengan sendirinya dan tidak dikenal generasi berikutnya.

Seiring dengan berkembangnya ajaran Islam yang dibawakan oleh para da’i dan tuan guru di Lombok, maka ritus yang berbau pagan sedikit demi sedikit tergantikan. Meskipun masih ada sebagian masyarakat yang secara diam-diam mempraktikkan kearifan tersebut, lama kelamaan akan ditemukan bahwa beberapa kearifan lokal hanya akan menjadi kenangan.

Beberapa di antara praktik ritual dalam kearifan lokal yang menjadi peninggalan leluhur adalah sistem penamaan bayi dan penyebutan bagi seseorang. Dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung setidaknya terbagi dalam tiga tahapan, yang tidak mesti harus lengkap dalam  pemenuhannya, yaitu:

1.  Sistem penamaan bayi;
2.  Sistem penamaan sesudah remaja dan dewasa;
3.  Sistem penamaan seteleh menunaikan ibadah haji.

Berikut penulis akan membahas satu persatu sistem penamaan ini untuk memberi penjelasan yang lengkap dan menyeluruh sehingga mudah mehamami makna di balik kearifan lokal yang hampir punah ini.


Sistem Penamaan Bayi

Salah satu dari sistem kebudayaan yang hampir punah adalah “pedak api” yang merupakan ritus penamaan bayi dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung. Pedak api dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung berarti memadamkan api, yaitu suatu ritus penamaan bayi yang dilakukan pada tujuh hari setelah kelahirannya. Bayi yang baru lahir disebut “bebeyak” yang berarti: “yang merah” karena warna kulit bayi yang baru lahir cerah kemerah-merahan, atau juga karena saat lahir dan/atau beberapa minggu berikutnya, bayi menangis dengan mengeluarkan suara “eyaak..! eyaak..!” Kadang disebut “lok odek” yang berarti: “si kecil.”

Pada tujuh hari setelah kelahirannya bayi akan dicukur dan diberi nama. Khususnya untuk cukuran, dalam prakteknya tidak mesti pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Pemberian nama bayi untuk pertama kalinya yang kemudian akan disebut nama sembek dilakukan dalam upacara pedak api. Prakteknya dilakukan dengan mengundang “belian” atau dukun yang membantu kelahiran sang bayi, yang kemudian mempersiapkan sejenis wadah dari tanah yang disebut “tepak”. Tepak tersebut diisikan sabut dan kulit kelapa kering dan ditambahkan sedikit arang tempurung. Kemudian sabut dan tempurung dalam wadah tepak itu dibakar. Walaupun belum begitu terbakar asal sudah mengeluarkan asap ritus penamaan bayi bisa dimulai. Orok bayi diangkat oleh sang dukun, kemudian di atas perapian dikenai sedikit asap, sang bayi diangkat dengan kedua tangan seperti menengadahkannya kemudian diputar-putarkan searah jarum jam sebanyak tujuh kali. Sesudah itu bayi diturunkan dan oleh sang dukun diberi sembek - kunyahan dari daun sirih, kapur sirih, isi pinang, dan gambir yang kemudian oleh telunjuk sang dukun diusapkan di kening, dada, dan leher sang bayi, sembari mengucapkan: “Dengan ini bayi ini diberi nama ….. (misalnya) Saleh.” Nama yang diberikan saat ini disebut “aran sembek”. Aran Sembek adalah nama asli yang diberikan pada tujuh hari setelah kelahiran seseorang. Sembek dioleskan juga pada kening, dada, leher, dan tengkuk ibu yang melahirkan. Dengan ritus ini dimulailah siklus pertama dalam perjalanan hidup seorang anak manusia.

Adapun dalam hal praktik ritual pedak api dengan menggunakan arang dan sabut kelapa tidak dianjurkan oleh para kiyai dan tuan guru karena dianggap menentang syari’ah dan meniru-niru praktek pagan, dan secara medis dapat mengganggu kesehatan sang bayi yang diinisiasi. Sebagai gantinya, arang tempurung dan sabut kelapa diganti dengan daun jarak, tetapi tetap melibatkan api dengan sedikit asap. Dari tahun ke tahun praktik ritual ini sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.


Sistem Penamaan Sesudah Remaja dan Dewasa

Ketika seseorang menginjak usia remaja, kemudian dewasa dan menikah, maka orang tersebut masih memakai nama yang diberikan sejak lahir. Misalnya, Saleh masih dipanggil Saleh, atau Aleh, atau mungkin Leh saja. Ada kata sandang lok untuk yang laki, dan le untuk perempuan. Hanya saja sebutan lok atau le di depan nama panggilan hanya boleh disebutkan oleh orang yang lebih tua atau setidaknya seusia. Yang muda akan menyebut dengan tambahan nama sesuai kedudukannya terhadap orang tersebut. Dengan demikian kata Lok Saleh hanya disebutkan oleh kakaknya, bapak ibunya, kakek neneknya atau semua orang yang lebih tua atau seusia dengan Saleh. Sebaliknya bagi adiknya, anaknya, keponakannya, cucunya, atau orang yang lebih muda dari Saleh akan menyebut kata sandang sesuai posisinya terhadap Saleh, seperti misalnya: Amak Saleh (oleh anaknya atau orang yang lebih muda atau seusia dalam kisaran kurang lebih - anjar-anjarang), Kakak Saleh (oleh adiknya atau orang yang lebih muda), Tuak Saleh (oleh keponakannya), Papuk Saleh (oleh cucunya), dan seterusnya. Demikian pula sandangan le bagi yang perempuan. Orang-orang yang lebih tua atau seusia akan menambahkan sandangan itu baginya, sementara yang lebih muda akan memanggil sesuai posisinya terhadap si perempuan, misalnya inak, saik, papuk dan seterusnya. Tapi di banyak tempat di daerah Lombok kata sandang lok atau le tidak dipakai.

Aran Pengamak/Penginak adalah nama-nama sebutan yang ditambahkan setelah seseorang mempunyai anak keturunan. Nama aslinya akan berganti setelah kelahiran anak pertama baik laki atau perempuan. Misalkan, Saleh menikah dengan Jahrah kemudian melahirkan anak pertamanya yang bernama Hayati, maka Saleh akan menjadi Amak Hayati, dan Jahrah menjadi Inak Hayati. Dalam bahasa Sasak, amak berarti “ayah”, inak berarti “ibu”. Nama-nama anak berikutnya dari Saleh dan Jahrah yang lahir sesudah anak pertama (sesudah Hayati), tidak akan mempengaruhi atau tidak mengubah nama Saleh sebagai Amak Hayati, atau Jahrah sebagai Inak Hayati. Untuk beberapa kasus yang dipraktekkan dalam budaya masyarakat Sasak Bengkaung, terkadang seorang bapak atau ibu menggunakan nama anaknya yang kedua, ketiga atau yang sudah lebih dikenal atau dipopulerkan masyarakat. Boleh jadi hal tersebut karena anaknya yang pertama meninggal waktu muda atau menghilang tak tentu rimbanya, atau karena orang tua tersebut malu atau kurang berkenan menggunakan nama anaknya yang pertama sebagai nama pengamak/penginak-nya, namun praktek tersebut dalam jumlah yang sangat kecil dan jarang terjadi, karena sistem ini dilegalkan oleh masyarakat sebagai kearifan lokal untuk menghargai anak pertama yang kelak diharapkan dapat menjadi pengganti orang tua mereka kalau sudah tiada.

Sebelum atau sesudah menikah diberikan tambahan nama atau sebutan kepada sesorang untuk mempermudah panggilan, dan untuk menginisiasi dirinya serta untuk lebih mudah dikenal atau dibedakan dengan yang lainnya. Hal ini menimbulkan sistem penambahan nama yang disebut jejalek dan jejuluk.

Jejalek atau nama tambahan lain yang muncul kemudian ini diberikan dengan melihat apa yang pernah terjadi pada person tersebut, apa yang dilakukannya, apa yang dialaminya, apa kebiasaanya, apa kesukaan dan hobinya, dan lain-lain. Terkadang nama jejalek menyertai nama aslinya, kadang hanya nama jejalek-nya yang dikenal. Nama asli hanya disebutkan bila menyangkut hal-hal yang formal, acara-acara resmi, atau untuk administrasi dan identitas formal. Nama jejalek selalu dan selamanya menggunakan bahasa lokal. Misalnya, seseorang remaja atau dewasa yang bernama Saleh tadi diketahui suka memakan tempe, atau mungkin fisiknya pipih seperti tempe, maka ia akan dipanggil Saleh-tempe atau Tempe saja. Orang akan mengatakan demikian dan menyebutnya sekali dalam satu tarikan nafas dan langsung dikenal. Ada kemungkinan puluhan nama Saleh dalam desa/dusun tersebut tetapi hanya satu yang bernama Saleh-tempe.

Jejuluk adalah nama pengganti atau sebutan bagi seseorang karena keistimewaannya, kelebihannya, kesaktiannya, atau kekuasaanya, ataupun juga karena kepahlawanan dan ketokohannya. Namun itu terjadi pada masa yang telah lampau atau jaman feodal. Pada saat sekarang ini jejuluk sudah jarang sekali didengar atau diberikan. Dalam budaya masyarakat suku Sasak Bengkaung, baik jejalek ataupun jejuluk diberikan dan disepakati oleh masyarakat secara spontan. Nama jejuluk untuk seseorang adalah sebutan untuk menghargai orang yang bersangkutan. Misalnya untuk petarung yang tangguh dan kebal, umumnya nama diawali dengan sebutan warna, mungkin kecenderungan warna tubuhnya seperti hijau, hitam, merah, dan lain-lain, kemudian diikuti oleh nama desa asalnya. Sehingga kita bisa mendengar orang berjejuluk Ijo Ireng, Klau Wadon, Burik Pakel dan lain-lain. Untuk menunjukkan kekuatan seseorang juga menggunakan nama-nama hewan yang kuat seperti Banteng Bentek, atau mungkin karena jabatannya seperti Demong Menggala, dan seterusnya.

Beda halnya dengan jejalek yang menjadi tambahan nama, atau pengganti untuk inisiasi seseorang, jejuluk lebih cenderung menghapus atau menghilangkan nama asli seseorang.

  

Sistem Penamaan Setelah Menunaikan Ibadah Haji

Setelah sesorang bernasib melaksanakan ibadah haji ke tanah suci, penamaannya sepenuhnya menggunakan nama yang diberikan atau disepakati bersama syeikh-nya di Makkah. Dengan demikian, nama-nama sembek, nama pengamak/penginak, jejalek dan jejuluk sepenuhnya tidak dipakai lagi. Karena dalam budaya masyarakat Sasak yang mayoritas beragama Islam, haji adalah gelar tertinggi yang disepakati bersama. Sesorang yang sudah berhaji selain diberikan gelar haji bagi yang laki, dan hajah untuk perempuan, mereka juga akan dipanggil mamiq sebagai pengganti amak. Kakek dan nenek diganti ninik. Sebutan-sebutan tersebut umumnya dipakai untuk panggilan bagi bangsawan Sasak.

Untuk review siklus penamaan dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung dapat digambarkan sebagai berikut, misalkan: Seorang bayi laki yang baru lahir diberi nama Saleh, karena suka memakan tempe atau fisiknya pipih seperti tempe maka dia diberi jejalek Tempe. Sejatinya ia akan dipanggil Saleh-tempe. Kemudian setelah menikah dan memiliki anak pertamanya, ia akan menjadi seorang ayah atau amak, maka semisal anak pertamanya bernama Hayati, maka ia akan mendapat nama pengamak menjadi Amak Hayati, atau mungkin dilengkapi jejaleknya menjadi Amak Hayati-tempe. Setelah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, ia memiliki gelar haji dan nama baru yang mirip-mirip dengan nama sebelumnya yang mungkin menjadi Haji Muhammad Salihin, atau Haji Salihin saja. Celakanya, terkadang orang lebih suka memanggil nama lengkap sebelumnya dengan hanya menambah gelar hajinya saja sehingga Haji Muhammad Salihin lebih dikenal sebagai Haji Saleh-tempe, walau kasus demikian tidak terlalu banyak.

Pada hakikatnya dalam masyarakat suku Sasak Bengkaung, bila mengenal nama seseorang secara lengkap, baik dengan nama pengamak/penginak, jejalek dan jejuluknya, ini berarti kita akan mengetahui pribadi orang tersebut secara lengkap, latar belakangnya, yang dialaminya, tampilan fisiknya, kepribadiannya, kekonyolannya, dan lain-lain, cukup hanya dengan menanyakannya sama seseorang, misalnya: “Kenapa Saleh itu disebut tempe?”. Orang Sasak manapun di Bengkaung akan menjawab pertanyaan itu secara jelas dan lengkap. Adapun mengenai suka atau tidak sukanya seseorang dengan nama jejalek dan jejuluknya itu tergantung pada orang yang bersangkutan, tapi ketidak-sukaan seseorang pada nama jejaleknya atau jejuluknya akan menjadikannya kaku. Orang lain akan tetap memanggilnya atau menyebutnya demikian, karena itu adalah kesepakatan spontan bersama masyarakat.

Beberapa contoh nama-nama orang Bengkaung yang juga ada beberapa pernah menjabat keliang atau penghulu di masa lampau misalnya: Amak Adis-dogok, Amak Sati-jorek, Amak Nusiah-donclok, Amak Iyan-begol, Amak Nurinah-owok, Amak Yahmin-empang, Inak Yahmin-ambul, Imah-jintor, Lok Yah-unong, dan lain-lain. Penjelasan tentang orang-orang yang menyandang nama di atas ada pada lanjutan nama atau jejalek yang mengikutinya.

Sistem penamaan sekarang ini memiliki kecenderungan untuk melenyapkan urutan atau siklus penamaan di atas. Nama-nama anak era sekarang sudah lengkap dan moderen. Ini disebabkan pengaruh pergaulan yang lebih maju, pola pikir modern, tayangan televisi dan media sosial lainnya. Kita jarang sekali mendengar kata amak atau inak untuk menyebut orang tua seseorang. Amak dan inak digantikan oleh bapak dan ibu yang lebih bersifat nasional, lebih kekinian dan sesuai dengan kondisi sekarang sekalipun dengan menumbalkan sebuah kearifan lokal, legasi nenek moyang dari masa lampau.