Bukit Ngeredeng adalah nama tempat ditemukan
dua batu besar di jalan setapak yang membelah sebuah pegunungan yang memanjang
dari utara ke selatan. Di salah satu batu yaitu yang di sisi barat jalan
terdapat peta yang tercetak secara alami yang menggambarkan geografis Banuwara
(Bengkaung masa sekarang) yang masih relevan hingga kini. Situs ini terletak di
atas bukit pada ketinggian + 800 meter di atas permukaan laut. Di kedua
batu terdapat lekukan menyerupai telapak kaki dan diyakini sebagai bekas
telapak kaki Titik Gembot, raja pertama dan pendiri Banuwara. Berlokasi di
sebelah barat laut Dusun Pelolat Desa Bengkaung Kecamatan Batulayar Kabupaten
Lombok Barat, sekitar 11 kilometer ke utara, atau dapat dicapai dalam waktu
sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Mataram, ibukota
Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Berdirinya Banuwara - Cikal Bakal Desa Bengkaung
Dharma, Mahapatih dan Panglima Tinggi Banuwa,
baru saja diberi kekuasaan penuh untuk memerintah bagian
barat kerajaan oleh Datu Batuwa,
saudaranya, raja kerajaan induknya yang berkedudukan di Banuwa (Kecamatan
Batukliang Kabupaten Lombok Tengah sekarang). Hal ini dikarenakan, tuntutannya
untuk menguasai dan memerintah suatu wilayah sendiri di tanah Sasak kepada Datu Banuwa. Sebagaimana
lazimnya sistim pemerintahan pada waktu itu, kerajaan-kerajaan kecil diharuskan
membayar pajak kepada kerajaan-kerajaan induknya setiap tahun. Statusnyapun
mulai dari semi federal, persemakmuran, vassal, ataupun kademungan - sejenis kadipaten. Demikian pula
halnya dengan wilayah Banuwa Barat. Setelah mangkatnya Datu Banuwa, putera
tertuanya Batuwa naik takhta, Dharma hanya diberi jabatan mahapatih. Dharma
tidak mau membayar pajak kepada kakaknya. Ia ingin punya wilayah sendiri,
bukan sekadar otonomi. Dikarenakan Datu Batuwa menghidari konflik dengan
adiknya, yang masih panglimanya, maka iapun memberikan wilayah Banuwa bagian
yang paling barat kepada Dharma.
Orang-orang di sana disebut orang Banuwang, maka negara baru ini dinamakan
Banuwang Panagara, yang kemudian pada zaman Mataram, disamarkan menjadi
Banuwara untuk menghidari pembantaian oleh kaki tangan Anak Agung yang
berkuasa.
Dalam beberapa tahun saja sejak “merdekanya” dari Banuwa,
Banuwang Panagara menjadi negara yang maju. Rakyat hidup makmur, cukup sandang
pangan, antara rakyat dan pemerintahnya
saling asah, asih
dan asuh. Dharma, raja dan pendiri negeri
ini sangat dicintai rakyatnya.
Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Antara raja dengan rakyatnya,
saling menghormati, menghargai dan saling mengerti. Demikian pula dengan sistem
pertahanannya. Baginda menyiapkan bala tentara yang kuat dan selalu siap
tempur dengan satu tekad: Setia kepada
raja, berani mati untuk negeri.
Satu-satunya jalan masuk ke negeri ini
adalah jalan selatan yang merupakan pintu gerbang utama. Timur, utara, dan barat
diapit bukit, yang seolah-olah menjadi benteng alami negeri ini. Pertemuan dua
sungai di selatan, sebagai batas
tenggaranya selalu dijaga ketat.
Titik Gembot dan Demung Menggala
Di sebelah utara Banuwang Panagara, adalah
wilayah Kademungan Menggala yang tunduk di bawah kekuasaan Raja Sokong Prawira.
Melihat perkembangan tetangganya di selatan, Demung Menggala (sebagian sumber
menyebutnya sebagai Banteng Bentek) tidak merasa senang. Ia berniat memperluas
kekuasaannya ke selatan sampai ke Semaya. Padahal Pusuk adalah batas alam yang
sudah disepakati secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Pegunungan ini
menjadi batas belahan Lombok bagian utara dengan bagian tengahnya. Wilayah
bagian utara pegunungan disebut Dayan Gunung, sedang bagian tengah dan
selatannya disebut Lauq Gunung. Demung Menggala yang sakti mandraguna
mengerahkan segenap kekuatan dan
pengaruhnya dalam upaya penaklukkan itu. Ia berkali-kali menantang Dharma, Raja Banuwang Panagara untuk
bertempur, tapi Raja selalu menolak dan menghindari konflik dengan Demung yang
sebenarnya juga masih kerabatnya itu. Terkadang, Demung menghalangi perjalanan
Baginda, diubahnya wujud dirinya menjadi sebatang pohon beringin yang
besar dan rimbun yang menutupi jalan
setapak. Raja selalu menyadari dan memaklumi, serta mencari jalan lain untuk
menghindari konfrontasi langsung. Bagaimanapun, ia adalah seorang raja yang
setiap tindakannya mempengaruhi orang banyak. Namun demikian, serangan Demung
secara tiba-tiba terkadang terpaksa
dihadapinya juga, tak ayal, semua
persenjataan Raja berupa keris, tombak, gada, panah, tempius,
bahkan pedangpun dilahap
Sang Demung yang sakti.
Habislah persenjataan Raja, lalu ia pergi bertapa di hutan Sinjong
Injok. Dalam perjalanannya ke hutan
itu, Dharma bertemu dengan seorang wanita setengah baya yang sedang menanak
nasi. Iapun mampir ke pondok wanita itu dan mengemukakan maksud perjalanannya. bahwa
ia hendak pergi bertapa untuk
mendapatkan senjata yang cukup ampuh guna mengalahkan Demung Menggala dalam
suatu pertempuran nanti.
Setelah mendengar maksud Dharma, wanita ini
mengambil segumpal tanah liat, kemudian dibentuknya menjadi sebilah keris luk
tujuh, didekatkan ke perapian, dirapalkan ajian-ajiannya, mengeraslah tanah itu
menjadi keris sungguhan, kemudian
diberikan kepada Dharma, yang kemudian melanjutkan perjalanan ke hutan
Sinjong Injok. Di sana tempat pertapaan Raja, yang kemudian mengambil enam
keris pusaka lainnya yang merupakan
persiapan senjata terakhir, yang akan
digunakan dalam suatu pertempuran terakhir yang cukup menentukan
kelak. Keenam keris ini didapatkan
masing-masing dua bilah di hutan Sinjong Injok, dua bilah di Tapak Sebiris, dan
dua bilah di Gunung Tembolak. Raja Dharma kemudian bersemedi selama
empat puluh hari empat puluh malam, memohon petunjuk dan kekuatan
pada yang Allah - Tuhan yang Mahakuasa untuk dapat mengalahkan
musuh-musuhnya. Pada malam keempat puluh, datanglah cahaya yang merasuki sekujur tubuhnya, dan tiba-tiba kekuatannya menjadi
pulih dan tambah berlipat-lipat. Semangat dan percaya dirinya tumbuh seketika.
Keesokan hariya ia mengasah ketujuh kerisnya, menghentikan pertapaannya dan
berangkat ke Banuwang Panagara.
Setibanya di istana Bunian, Dharma, Raja Banuwang
Panagara mendengar bahwa. Demung Menggala telah melanjutkan program invasinya ke selatan. Pusuk dan
Semaya jatuh ke tangannya. Raja bertekad menyelesaikan masalah ini
sendiri. Baginda akan bertempur
secara ksatria mengalahkan Demung
Menggala, dan mengusir musuh-musuhnya
keluar dari Pusuk dan Semaya. Ia
berangkat ke Semaya di selatan Pusuk dengan membawa tujuh keris pusakanya. Di
tempat itu ia berhadapan dengan penguasa
Menggala tersebut dan ditawarkannya sebuah pertempuran ksatria
secara simbolik. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari banyaknya korban di kedua
belah fihak, di samping juga untuk
menghindari dendam turunan dari keluarga para prajurit yang berperang.
Demung menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Serta merta Demung
mengeluarkan tujuh pucuk kerisnya, disuruhnya Dharma menelan keris-keris
tersebut. Raja memakan ketujuh keris tersebut
satu demi satu
hingga habis semua. Tibalah giliran Sang Demung. Ditelannya ketujuh
keris pusaka Dharma dalam satu lahapan. Demung sudah biasa melakukan hal
tersebut. Hasilnya sementara, seri. Dharma putus asa dan hendak meninggalkan tempat tersebut, namun,
beberapa detik kemudian, lawannya menjerit histeris. Sekonyong-konyong tubuh
Demung Menggala terasa panas, ia merasakan
sakit yang tiada terperi. Dari perutnya terlihat tujuh tonjolan yang
adalah ujung-ujung ketujuh keris Dharma yang baru saja ditelannya. Ia merintih kesakitan, Masing-masing
tonjolan tersebut kemudian mengeluarkan darah segar yang segera diikuti
ujung-ujung keris Sang Raja. Demung Menggala tidak tahan, dan memohon kepada
Dharma untuk menarik ujung ketujuh keris tersebut dan mengeluarkannya dari
perutnya. Demung berjanji tidak akan melakukan penyerbuan ke selatan lagi dan
akan mengembalikan semua wilayah-wilayah yang telah didudukinya. Dharma, Raja
Banuwang menerima. Iapun segera mencabut ketujuh kerisnya dari perut penguasa
Menggala tersebut. Sejak itu dikenallah ia sebagai Titik Gembot - Kakek
Pencabut. Sejak itu pulalah berakhir konflik perbatasan antara Dharma, Raja
Banuwang Panagara dengan demung daerah Menggala.
Titik Gembot dan Anak Agung
Setelah memenangkan pertempuran yang ketiga
atau yang terakhir melawan Demung Menggala, Dharma atau Titik Gembot kembali
kepada rakyatnya di Gumi Banuwang. Ia memenangkan sebuah pertempuran simbolik
yang amat menentukan masa depan kerajaannya. Masa itu adalah masa-masa akhir
Kerajaan Pejanggik di Lombok Tengah, dan awal kekuasaan raja Bali di Karang
Asem, Cakranegara. Setelah Pejanggik diserbu untuk keterakhir kalinya, penguasa
Bali, Anak Agung merasa seluruh Lombok sudah menjadi miliknya. Ia membaginya
dengan Banjar Getas, yang menjadi sekutunya. Banjar Getas memerintah di Juring
Timuq, pusat pemerintahannya di Mamelaq. Anak Agung tidak memperhatikan kedaulatan
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Baginya kekalahan Pejanggik adalah
kekalahan seluruh orang Lombok. Priyayi dijadikan jajar karang, kerajaan
dijadikan kearistokratan, kademungan dijadikan desa-desa, gelar-gelar
kebangsawanan priyayi Sasak Lombok
diseragamkan, harga diri rakyat Sasak diinjak-injak. Kemudian, di beberapa
tempat terjadilah pemberontakan, yang semuanya dapat padamkan dengan mudah oleh
Anak Agung yang memiliki bala tentara
terlatih dengan segudang pengalaman tempur.
Istana Bunian, tempat kediaman Dharma, pusat
pemerintahan Kerajaan Banuwang dipindahkan ke tempat yang lebih tersembunyi di
bukit itu. Banuwang Panagara disamarkan menjadi Banuwura untuk menghindari
pembunuhan rakyat tak berdosa oleh
penguasa Bali. Sebenarnya, Dharma atau Titik Gembot, sudah
seringkali terlibat konflik secara
tidak langsung dengan Anak Agung
yang berkuasa. Untuk sebuah perang terbuka,
Banuwang Panagara belumlah mampu menandingi kaum penakluk yang telah
menghancur-leburkan Selaparang dan Pejanggik itu. Namun itu juga, penakluk Bali
tidak mau mengambil resiko untuk secara gegabah
memasuki daerah-daerah kantong pertahanan Sasak, terlebih daerah itu adalah tempat
persembunyian seperti di Lembah Banuwang (sekarang wilayah
Bengkaung Dataran/Desa). Kesempatan inilah yang dipakai oleh Titik Gembot mengatur strategi pertahanan dan memperkuat
bala tentara Banuwang, yang berarti di
masa datang akan terjadi perang terbuka.
Pada kenyataannya, selama pemerintahan Titik Gembot, tidak
pernah terjadi perang terbuka
dengan penguasa Bali yang bercokol di Karang
Asem. Perang terjadi pada empat generasi sesudahnya pada jaman pemerintahan
cicit Titik Gembot, yaitu Titik Jagad,
yang melumat habis tentara Bali
dari Mataram, yang memasuki Banuwang
Panagara dari arah selatan untuk memburu
para eksodus Banuwa yang
dititipkan ke daerah ini oleh Mamiq Dikawat, pengeraksa Mantang - penerus dinasti Banuwa.
Di sebelah tenggara Banuwang yang sekarang
dikenal sebagai Kayangan, Anak Agung mendirikan pesanggrahan tempat
pemujaannya. Raja dan keluarga raja lainnya selalu melakukan persembahyangan di
pesanggrahan Kayangan. Di tempat ini terdapat sebuah pohon beringin besar yang
sering digunakan sebagai tempal ritual Raja beserta kaulanya. Suatu malam,
sebelum kedatangan Raja dan pengikutnya, Titik Gembot memanjat beringin
tersebut dan menunggu kedatangan penguasa Bali itu untuk ritual dan
persembahyangan. Ia mengetahui, bahwa Raja selama ini mengharapkan datangnya
air suci dari para dewa di Kayangan. Air tersebut nantinya digunakan untuk
ritual-ritual keselamatan bagi kesejahteraan
Raja dan seluruh rakyatnya.
Datanglah Baginda beserta para kaula untuk
bersembahyang dan ritual di bawah pohon
beringin dimana Titik Gembot sudah berada di atasnya. Setelah Raja lama
berdoa dan sedang khidmad dalam pemujaannya, Titik Gembot yang di atas pohon
beringin, mengucurkan air seninya. Air seni itu dianggap keramat oleh Raja
karena dianggap rahmat dari Sang Dewa.
Maka dengan serta merta, cairan
tersebut dikeramatkan. Titik Gembot yang berada
di pohon beringin tersebut
segera memperingatkan, agar Raja Anak
Agung dan raja-raja Bali lainnya tidak lagi menyulut api peperangan dengan
Titik Gembot ataupun penerus dan keturunannya, karena kalau sampai terjadi
konflik langsung dengan mereka, Raja akan kalah dengan hina dina, dan
pasukannya akan hancur lebur tanpa sisa. Kata-kata itupun diucapkan penguasa
Banuwang itu sedemikian rupa, sehingga Anak Agung dan pengikutnya
demikian yakin kalau itu adalah wangsit dari Dewata. Raja Anak Agung yang
berkedudukan di Karang Asem itu mentaati dengan sepenuh hati, tetapi beberapa
generasi kemudian, penguasa Bali lainnya, Ratu Agung2 Ketut Karang Asem yang
berkedudukan di Mataram, dan telah mengalahkan serta mempersatukan kerajaan-kerajaan Bali lainnya
di tanah Sasak Juring Barat, mungkir, dan melanggar larangan "Dewa"
tersebut. Mereka menginvasi Banuwang Panagara, akan tetapi, dengan mudah dapat
dimusnahkan oleh Titik Jagad.
Sejak penyatuan kerajaan-kerajaan Bali
menyusul kemenangan Mataram atas Karang Asem pada tahun 1838, ibukota Mataram
dipindah ke Karang Asem, yang kemudian berganti
nama menjadi Cakranegara, yang berarti: Negara telah bersatu. Mataram
inilah yang kemudian menjadi penguasa tunggal dan pemegang supremasi di tanah
Sasak hingga kekalahannya oleh Hindia Belanda dalam Perang Lombok terbesar
tahun 1894, tepat 222 tahun setelah kehancuran Selaparang, kerajaan Islam
terbesar dalam sejarah Lombok.
Titik Ngringik dan Titik Ngrangak
Dikatakan, bahwa Titik Gembot memiliki
seorang putera yang kelak menggantikannya sebagai raja Banuwara, dan dua orang
anak kembar yang bernama Titik Ngringik dan Titik Ngrangak. Titik Ngringik, selalu kelihatan giginya, dan
Titik Ngrangak, selalu membuka mulutnya. Dua saudara kembar ini tidak setenar
bapaknya. Si kembar ini tidak sesakti dan sedigjaya bapaknya. Keilmuan dan
kharisma bapaknya, kelihatnnya jatuh kepada kakak saudara kembar tersebut, yang
telah ditetapkan sebagai putera mahkota. Mereka tidak bisa membikin air laut menjadi kental seperti yang dilakukan
bapaknya ketika mengajak salah seorang
cucunya pergi menonton pertunjukan
wayang di pulau Bali. Si kembar tidak bisa mengubah kulit buah kelapa menjadi seekor sapi yang besar untuk dijual
dan mendapatkan uang seperti yang mampu dilakukan bapaknya. Semua tempat-tempat
yang digunakan Titik Gembot untuk mengasah keris-kerisnya, dan tempat-tempat
ritual lainnya meninggalkan bekas, baik itu berupa bekas telapak kakinya
maupun bagian-bagian tubuhnya yang lain.
Titik Ngringik dan Titik Ngrangak tidak dapat melakukan semua itu, dan tiada
bekas yang ditinggalkannya. Titik Ngringik hanya bisa tersenyum dan tertawa
yang membuat seluruh giginya terlihat, dan Titik Ngrangak hanya keheranan yang
membuat mulutnya selalu terbuka. Kedua saudara kembar ini dimakamkan di
pekuburan Bangket Telaga. Nisannya terbuat dari batu cadas gunung yang diukir
dengan motif kembang melati yang masih kuncup. Nisan ini menimbulkan spekulasi masyarakat setempat kalau Titik Ngringik dan Titik
Ngrangak adalah sepasang suami isteri yang memperanakkan Titik Gembot. Hal ini
jelas tidak benar mengingat Titik Gembot yang nama aslinya Dharma adalah putera
kedua Datu Banuwa, dan adik Datu Batuwa, Raja Banuwa yang terakhir. Generasi
Banuwara berikutnya dilanjutkan melalui kakak si kembar tersebut.
Dalam suatu perjalanan ke hutan utara, Titik Gembot melewati tempat yang dikenal sebagai Ngeredeng. Di punggung bukit Ngeredeng, sebuah batu sebesar rumah menghalangi jalannya. Dengan kesaktiannya, iapun membelah dan mendorong kedua belahan batu tersebut, ke kiri dengan kaki kirinya, untuk batu yang di belahan kiri, dan ke kanan dengan kaki kanannya, untuk batu di belahan kanannya. Kedua telapak kakinya membekas di kedua belahan batu itu, dan masih dapat dilihat hingga kini.
Di tempat semedinya di hutan Sinjong Injok, ditemukan bekas-bekas ritusnya, dan bekas alat-alat vitalnya sewaktu duduk mengasah keris atau gegaman lainnya di tempat ini. Di hutan ini terdapat sebuah pohon jeruk, yang kalau dipanjat oleh orang yang bukan keturunan Titik Gembot akan bergoyang dengan keras dan melontarkan pemanjatnya dengan keras hingga tewas. Bagian hutan ini sulit diketemukan bagi orang-orang yang sengaja mencarinya. Situs ini terkadang ditemui secara kebetulan oleh para penebang liar yang sering bepergian ke sana. Tempat-tempat semedinya yang lain adalah di Gunung Tembolak dan Tapak Sebiris.